Kamis, 05 Juni 2014

Bahasa Cinta

    Hendra adalah seorang sopir Mikrolet di Tangerang. Ia baru menyelesaikan rute pertamanya hari itu ketika di seberang jalan tampak seorang anak muda hampir tertabrak motor. Anak muda itu tampak kebingungan dan penampilan fisiknya menunjukkan bahwa ia seorang dengan difabel (Different Ability) keterbelakangan mental. Karena rasa kasihan, dihampirinya anak muda itu, dan segera disadarinya bahwa kemampuan berbahasa anak itu terbatas. Lagipula kata-kata yang diucapkan anak muda itu sulit dipahami, sebab bicaranya pelo juga. Namun, menurut Hendra, “ada sesuatu pikiran di otak saya yang menyuruh saya untuk menolongnya”. Dan “sesuatu” itu mendorong Hendra untuk berkomunikasi dengan anak muda itu dengan segala cara. Dengan segera Hendra memahami bahwa anak muda tersebut tersasar jauh dari rumahnya, dan kehausan serta lapar juga, sehingga ia membelikannya makanan dan minuman.
    Hendra  tidak pernah mengira bahwa hal itu membuatnya berkesempatan untuk diwawancarai oleh Deddy Corbuzier dalam talk show “hitam putih” di Trans7, beberapa minggu setelah kejadian. Ketika ditanya apa alasannya menolong anak muda itu, dengan polos Hendra menjawab “tidak tahu, tidak ada alasan apa-apa, kecuali hanya ingin menolong saja”. Pada saat kejadian, Hendra tidak pernah tahu bahwa anak muda yang tersesat itu adalah Christian Sitompul, seorang penderita Down Syndrome yang cukup terkenal. Christian adalah peraih  medali emas dalam Nasional Games Special Olympics di Singapore (2009) serta mendapat medali emas pada  Special Olympics Summer Games XIII di Athena (2011). Christian pergi dari rumahnya pada suatu pagi, keluyuran dengan alasan yang tidak diketahui dan akhirnya tersasar sampai ke daerah Ciputat – Tangerang yang tak dikenalnya, lalu kebingungan sampai akhirnya bertemu dengan Hendra.
     Sepanjang perjalanan yang dilalui dalam kebingungan, tentu saja Christian bertemu dengan banyak orang. Mungkin juga banyak yang melihatnya hampir tertabrak motor. Namun kebanyakan tidak tergugah untuk menghampiri dan menawarkan pertolongan kepadanya, sebab mungkin terbawa dalam sikap EGP (“emang gue pikirin”) yang menjerat orang-orang masa kini yang sibuk mengejar rejeki demi bertahan hidup dan memperjuangkan kepentingan sendiri. Atau mungkin terbawa dalam cara berpikir parno (paranoid) yang membuat kita sering curiga kepada orang yang tak dikenal. Pada pagi hari itu, adalah Hendra yang tersentuh oleh “sesuatu dalam pikirannya” untuk menolong Christian. “Sesuatu” itu bernama cinta kasih.
       Hendra adalah seorang sopir Mikrolet yang sederhana, dan berbicara dalam bahasanya yang sederhana. Dia tidak membahas secara teoritis apa makna cinta dan memaparkannya kepada pemirsa talk show “hitam putih”. Dia tidak pernah mengenal ensiklik Paus Benediktus XVI yang bertajuk “Deus Caritas Est” (2006) (=Allah adalah Cinta), yang menyatakan bahwa cinta adalah jalan keluar dari egoisme diri sendiri. Dalam ensiklik itu, Paus menyatakan bahwa cinta sejati membuat seseorang mau keluar dari pamrih pribadi; rela ‘memberi” demi kebahagiaan orang lain. Inilah cinta Agape. “Kini cinta menjadi keprihatinan dan kepedulian terhadap orang lain. Ia tidak hanya mencari kepuasan diri sendiri, tenggelam dalam kemabukan kebahagiaan sendiri; sebaliknya ia mengupayakan kebahagiaan orang lain yang dikasihi… ia siap, bahkan ingin, berkorban”.
      Secara sederhana, Hendra mewujudkan apa yang disebutkan oleh Paus Benediktus XVI itu dalam tindakan nyata: pagi itu dia keluar dari dirinya sendiri, menghampiri Chistian dan mengulurkan tangan. Dia membelikan makanan dan minuman dengan uangnya yang terbatas, yang sebenarnya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dia mengantar Christian ke pos polisi agar dapat dipertemukan dengan keluarganya, walaupun bisa saja waktu beberapa jam itu dia gunakan untuk mengemudikan mikroletnya dan mengejar setoran.
        Itulah cinta yang sederhana tapi nyata. Tanpa pamrih, tanpa perlu ada alasan yang mendasari, hanya sekedar “ingin memberi dan menolong”. Walaupun Hendra sulit untuk mengerti apa yang diucapkan Christian secara verbal, namun dengan hatinya Hendra dapat memahami kebutuhan Christian serta memenuhinya. Dalam keterbatasan daya pikirnya, Christian pun dapat menanggapi uluran tangan Hendra. Begitulah bahasa cinta: sebuah bahasa yang universal, bahasa yang melampaui kata-kata: sebuah senyum, sapaan ramah, tatapan hangat, uluran tangan. Hendra tidak melihat siapa yang ditolongnya, atau apa statusnya. Ia tidak memandang bahwa yang ditolongnya adalah penderita difabel yang tidak dikenalnya, yang kemungkinan besar tidak akan membalas jasanya, bahkan mungkin tidak bisa mengucapkan sekedar terimakasih sekalipun. Sebuah cinta tanpa syarat, yang menampakkan diri dalam solidaritas kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan kita.
    Dalam hiruk-pikuk kehidupan metropolitan yang sarat dengan persaingan untuk mempertahankan hidup, kisah sederhana seperti ini membuat kita yakin bahwa ada sumber cinta kasih di luar diri kita: Allah sendiri. 
      Cinta-  dianugerahkan bagi setiap umat manusia secara cuma-cuma, dicurahkan ke dalam hati dan budi kita sebagai energi yang selalu mencari jalan untuk mewujudkan diri. Sebagai energi, cinta bekerja melampaui batas-batas ruang dan waktu, menggerakkan hati untuk menerima dan memahami, menggerakkan kaki untuk melangkah menghampiri, menggerakkan tangan untuk memberi dan menolong. Karena berasal dari hati dan budi, cinta menampakkan diri sebagai keluhuran budi. Ia mengalir bagaikan air yang kodratnya adalah mengalir, mencari jalan untuk memberi kehidupan dan penyegaran di sepanjang alirannya, tanpa memperhitungkan untung rugi.
     Semoga kita menyediakan diri untuk menjadi jalan yang dapat mengalirkan cinta semacam itu kepada sesama yang kita jumpai. Dengan demikian kita membahasakan Cinta Kasih Allah dalam tindakan nyata.


  (Dimuat dalam Buletin Komunitas Dokter Katolik Jawa Barat No.150 Mei - Juni 2014)