Hendra
adalah seorang sopir Mikrolet di Tangerang. Ia baru menyelesaikan rute
pertamanya hari itu ketika di seberang jalan tampak seorang anak muda hampir
tertabrak motor. Anak muda itu tampak kebingungan dan penampilan fisiknya
menunjukkan bahwa ia seorang dengan difabel
(Different Ability)
keterbelakangan mental. Karena rasa kasihan, dihampirinya anak
muda itu, dan segera disadarinya bahwa kemampuan berbahasa anak itu terbatas. Lagipula
kata-kata yang diucapkan anak muda itu sulit dipahami, sebab bicaranya pelo
juga. Namun, menurut Hendra, “ada sesuatu pikiran di otak saya yang menyuruh
saya untuk menolongnya”. Dan “sesuatu” itu mendorong Hendra untuk berkomunikasi
dengan anak muda itu dengan segala cara. Dengan segera Hendra memahami bahwa
anak muda tersebut tersasar jauh dari rumahnya, dan kehausan serta lapar juga,
sehingga ia membelikannya makanan dan minuman.
Hendra tidak pernah mengira bahwa hal itu membuatnya berkesempatan untuk diwawancarai oleh
Deddy Corbuzier dalam talk show
“hitam putih” di Trans7, beberapa minggu setelah kejadian. Ketika ditanya apa alasannya menolong anak muda itu, dengan
polos Hendra menjawab “tidak tahu, tidak ada alasan apa-apa, kecuali hanya
ingin menolong saja”. Pada saat kejadian, Hendra tidak pernah tahu bahwa anak
muda yang tersesat itu adalah Christian Sitompul, seorang penderita Down Syndrome yang cukup terkenal.
Christian adalah peraih medali emas
dalam Nasional Games Special Olympics di Singapore (2009) serta mendapat medali
emas pada Special Olympics Summer Games
XIII di Athena (2011). Christian pergi dari rumahnya pada suatu pagi, keluyuran
dengan alasan yang tidak diketahui dan akhirnya tersasar sampai ke daerah
Ciputat – Tangerang yang tak dikenalnya, lalu kebingungan sampai akhirnya
bertemu dengan Hendra.
Sepanjang perjalanan
yang dilalui dalam kebingungan, tentu saja Christian bertemu dengan banyak
orang. Mungkin juga banyak yang melihatnya hampir tertabrak motor. Namun
kebanyakan tidak tergugah untuk menghampiri dan menawarkan pertolongan
kepadanya, sebab mungkin terbawa dalam sikap EGP (“emang gue pikirin”) yang menjerat orang-orang masa kini yang
sibuk mengejar rejeki demi bertahan hidup dan memperjuangkan kepentingan
sendiri. Atau mungkin terbawa dalam cara berpikir parno (paranoid) yang membuat kita sering curiga kepada orang yang
tak dikenal. Pada pagi hari itu, adalah Hendra yang tersentuh oleh “sesuatu
dalam pikirannya” untuk menolong Christian. “Sesuatu” itu bernama cinta kasih.
Hendra adalah seorang sopir
Mikrolet yang sederhana, dan berbicara dalam bahasanya yang sederhana. Dia
tidak membahas secara teoritis apa makna cinta dan memaparkannya kepada pemirsa
talk show “hitam putih”. Dia tidak
pernah mengenal ensiklik Paus Benediktus XVI yang bertajuk “Deus Caritas Est” (2006) (=Allah adalah
Cinta), yang menyatakan bahwa cinta adalah jalan keluar dari egoisme diri
sendiri. Dalam ensiklik itu, Paus menyatakan bahwa cinta sejati membuat
seseorang mau keluar dari pamrih pribadi; rela ‘memberi” demi kebahagiaan orang
lain. Inilah cinta Agape. “Kini
cinta menjadi keprihatinan dan kepedulian terhadap orang lain. Ia tidak hanya
mencari kepuasan diri sendiri, tenggelam dalam kemabukan kebahagiaan sendiri;
sebaliknya ia mengupayakan kebahagiaan orang lain yang dikasihi… ia siap,
bahkan ingin, berkorban”.
Secara sederhana, Hendra
mewujudkan apa yang disebutkan oleh Paus Benediktus XVI itu dalam tindakan nyata:
pagi itu dia keluar dari dirinya sendiri, menghampiri Chistian dan mengulurkan
tangan. Dia membelikan makanan dan minuman dengan uangnya yang terbatas, yang sebenarnya
pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dia mengantar Christian ke
pos polisi agar dapat dipertemukan dengan keluarganya, walaupun bisa saja waktu
beberapa jam itu dia gunakan untuk mengemudikan mikroletnya dan mengejar
setoran.
Itulah cinta yang
sederhana tapi nyata. Tanpa pamrih, tanpa perlu ada alasan yang mendasari,
hanya sekedar “ingin memberi dan menolong”. Walaupun Hendra sulit untuk
mengerti apa yang diucapkan Christian secara verbal, namun dengan hatinya
Hendra dapat memahami kebutuhan Christian serta memenuhinya. Dalam keterbatasan
daya pikirnya, Christian pun dapat menanggapi uluran tangan Hendra. Begitulah bahasa
cinta: sebuah bahasa yang universal, bahasa yang melampaui kata-kata: sebuah
senyum, sapaan ramah, tatapan hangat, uluran tangan. Hendra tidak melihat siapa yang
ditolongnya, atau apa statusnya. Ia tidak memandang bahwa
yang ditolongnya adalah penderita difabel yang tidak dikenalnya, yang kemungkinan
besar tidak akan membalas jasanya, bahkan mungkin
tidak bisa mengucapkan sekedar terimakasih sekalipun. Sebuah cinta tanpa syarat, yang menampakkan diri dalam
solidaritas kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan kita.
Dalam
hiruk-pikuk kehidupan metropolitan yang sarat dengan persaingan untuk
mempertahankan hidup, kisah sederhana seperti ini membuat kita yakin bahwa ada
sumber cinta kasih di luar diri kita: Allah sendiri.
Cinta- dianugerahkan bagi setiap umat manusia secara
cuma-cuma, dicurahkan ke dalam hati dan budi kita sebagai energi yang selalu
mencari jalan untuk mewujudkan diri. Sebagai energi, cinta bekerja melampaui
batas-batas ruang dan waktu, menggerakkan hati untuk menerima dan memahami,
menggerakkan kaki untuk melangkah menghampiri, menggerakkan tangan untuk
memberi dan menolong. Karena berasal dari hati dan budi, cinta menampakkan diri
sebagai keluhuran budi. Ia mengalir bagaikan air yang kodratnya adalah mengalir,
mencari jalan untuk memberi kehidupan dan penyegaran di sepanjang alirannya,
tanpa memperhitungkan untung rugi.
Semoga kita menyediakan diri untuk menjadi jalan yang dapat mengalirkan cinta semacam itu
kepada sesama yang kita jumpai. Dengan demikian kita membahasakan Cinta
Kasih Allah dalam tindakan nyata.
(Dimuat dalam Buletin Komunitas Dokter Katolik Jawa Barat No.150 Mei - Juni 2014)