Selasa, 01 Juli 2014

Jangan mati dulu, Mang Ucup!




            Tinker bell adalah malaikat kecil dengan gaun terbuat dari daun berwarna hijau. Pada suatu masa, dia ditarik oleh Tuhan dari Neverland –tempat tugasnya sebagai peri-, dan dipindahtugaskan untuk menjadi malaikat pelindung Mang Ucup di negara “Entah di mana”. Mulanya Tink agak sedih, karena ia senang dengan pekerjaannya sebagai peri yang bertugas memperbaiki panci dan ceret di Neverland (ia punya kreativitas baru, membuat bel)! Ia juga terpaksa berpisah dengan Peter Pan yang sudah lama menjadi sahabatnya. Tapi kemudian Tink mulai menyukai tugas barunya menjaga mang Ucup. Mang Ucup adalah seorang pria yang rajin, sukses dalam bisnisnya, kaya raya, baik dan dermawan. Temannya banyak dan anak-anaknya menjadi pengusaha sukses juga seperti ayahnya.

            Pada suatu hari, sesudah berusia 71 tahun, mang Ucup memutuskan bahwa masa hidupnya sudah cukup. Ia terinspirasi oleh berita tentang Moek Heringa, seorang nenek warga Belanda yang pada tahun 2010 mengakhiri hidupnya dengan setumpuk pil tidur, hanya karena ia sudah berusia 99 tahun dan bosan hidup. Dengan segera “my last will pill” ini menjadi topik pembicaraan dan sejumlah lansia di Belanda mengikuti trend ini. Mang Ucup kemarin mendengar berita ini dan terinspirasi juga. Diam-diam, ia sebenarnya khawatir kalau-kalau ternyata dengan bertambahnya usia, ia terkena stroke, parkinson, dan pikun sehingga menyusahkan anak-anaknya dan menghabiskan banyak biaya. Maka ia berpikir ia mau menelan pil kematian juga. Lagi pula, menurutnya, lebih baik mati sekarang, saat temannya masih banyak, sehingga mereka akan menghadiri pemakamannya. “My last will pill, yess!”, pikirnya. Maka ia mulai merancang pesta perpisahan, upacara menelan pil kematian dan upacara pemakamannya.

Membaca pikiran mang Ucup itu, Tinker bell -yang kini menjadi malaikat pelindungnya-  langsung gelisah, ia membunyikan panci, ceret dan bel kecilnya. Oh, astaga! Kenapa bisa begini? Kegawatan! Code blue! Code blue! SOS! SOS! Wajah Tink menjadi merah, pipinya menggembung dan ia terbang kian kemari sambil menaburkan debu .............. Tink-tink-tink-kriiiiiiing .........Stop! Stop, Mang Ucup!

            Mang Ucup masih melamun, dan bangga dengan ide kreatifnya. Dalam lamunannya, tiba-tiba mang Ucup seakan-akan mendengar bunyi bel atau lonceng berdenting. Ah, lonceng apa ya itu? Tink-tink-tink-kriiiiing ..............Sepertinya ia mengenalinya .......... tapi entah di mana ia pernah mendengarnya. Di antara bunyi lonceng itu ia melihat wajah keluarganya. Pasti mereka akan berterimakasih karena Mang Ucup tidak menyusahkan mereka, bahkan meninggalkan banyak warisan. Ia benar-benar tidak egois, kan? Bahkan, salah satu rumahnya dihibahkan kepada panti asuhan. Wah, bukan main. Pahalanya pasti banyak ......... Dan kematiannya juga pasti tidak menyakitkan, seperti tidur, wajar, dikelilingi seluruh anggota keluarga ................... kematian yang tampak tenang dan indah.  Aduh, tapi apa ini? Ada bunyi lonceng terus-menerus berdering lembut di telinganya ....... halusinasi apa ini?

            Tinker bell masih gelisah. Ia terus membunyikan ceret, panci dan bel yang dipegangnya di telinga Mang Ucup. Tink-tink-tink-kriiiiing ..............  Tink ingin cemberut, tapi entah kenapa tidak bisa. Ia menaburkan debu sambil terbang di sekitar Mang Ucup. Tapi aneh, debu ini berubah .......... tidak lagi bisa membuat keajaiban .......... tidak seperti debu peri biasanya .............. Sambil terbang ia mengepakkan sayap dengan gelisah .......... dan tiba-tiba ia teringat. Pastilah debu peri-nya tidak bekerja dan ia tidak bisa cemberut, sebab kini ia bukan lagi peri, melainkan malaikat pelindung. Dan malaikat pelindung tentu saja hanya bisa tersenyum, mencintai dan melindungi. Seorang malaikat bekerja bukan dengan menabur debu peri, melainkan dengan doa dan permohonan kepada Allah. Maka ia mulai berdoa, memohon kepada Allah agar menyelamatkan mang Ucup: “Tuhan, tolonglah .....”

            Mang Ucup masih yakin dengan rencananya. Yes! Ia akan mati dengan senyuman, sebab ia telah berbuat kebaikan dengan sempurna. Tapi suara dering bel itu masih sayup-sayup terdengar, memanggil memorinya tentang sebuah lonceng ................ yang suka dibunyikan oleh para putra Altar ketika Imam sedang mengangkat Hosti dan Anggur di Gereja. Dan, tiba-tiba bersama bunyi lonceng itu, ada sebersit cahaya melintas di depan matanya: cahaya kecil berbentuk peri yang cantik seperti dalam film-film Disney............  haha ......... halusinasi lagi ............

Dan, sekarang ia seperti menyaksikan video klip “kematian indah” yang dirancangnya tadi. Ia akan minum pil kematian diiringi lagu pilihannya, dengan mengenakan stelan jas terbaik, dan parfum termahal. Tapi kenapa istri dan anak-anaknya menangis terus? Harusnya mereka senang karena mendapat harta warisan. Tapi ternyata mereka bersedih karena kehilangan dia. Istrinya bahkan pingsan berkali-kali sambil menjerit “Aku tidak mau terima uang asuransi jiwa suamiku! Ambil sana! Kembalikan Mang Ucup. Mang Ucuuup .. jangan mati dulu!”. Ternyata dia sangat mencintai Mang Ucup! Tiba-tiba mata mang Ucup seperti X-ray, menembus tubuh istrinya lima tahun kemudian, dan menemukan sebuah kanker besar di sana, yang tumbuh karena stress ditinggal mati Mang Ucup. Oh, tidak! ........... Istrinya akan menderita lama sampai kanker itu menjalar ke mana-mana. Ia akan kesakitan, dan anak-anak tidak bisa menemaninya sebab mereka semua sibuk bekerja. Mereka akan membayar seorang care-giver, dan menitipkan istrinya kepada care-giver yang ternyata sembrono dan pemalas, dan istrinya ditelantarkan dalam kesakitan, sampai mati dalam kesepian. Oh, tidak! Mang Ucup harusnya ada di sana, merawat istrinya waktu sakit, menjaga dan mendampinginya!  .........................  Dan, lorong di depannya ini ......... kenapa berakhir di tempat gersang penuh dengan jiwa-jiwa yang berbentuk mengerikan, penuh ratap tangis dan api bernyala? Dan lihat ................. dalam daftar Santo Petrus Sang Penjaga Pintu Surga, nama mang Ucup dicoret dengan spidol merah tebal dengan catatan “Hidupnya selama 70 tahun cukup baik. Tetapi pada akhirnya menolak kehidupan, dan memilih kematian”.

            Mang Ucup gemetar. Tidak! Ternyata menelan pil kematian bukanlah cara meninggal yang wajar dan indah. Ternyata menelan pil kematian berarti menolak kehidupan. Menolak kehidupan berarti memilih kematian kekal. Dan kematian kekal itu mengerikan! Mang Ucup adalah seorang yang pintar, dan tentu saja orang pintar akan memilih ....  tolak angin ........ eh, kehidupan! Lagipula, ternyata istrinya sangat mencintai Mang Ucup, lebih daripada harta warisan (padahal Mang Ucup sudah keriput, ompong, perutnya buncit dan wajahnya penuh flek penuaan). Oh, tidak! Istri yang dicintainya ............   Mang Ucup cepat-cepat mengusir pikiran kacau yang tadi memenuhi otaknya. Ia menghalau lamunannya. Ia menyesal telah berpikir sembrono, dan bergegas memakai sepatu. Astaga, untunglah rencana itu belum dilaksanakan. Mengerikan sekali! Dan mengerikan sekali bahwa ia sempat berpikir seperti itu. Rasanya ia perlu ke Gereja dan mohon ampunan Tuhan ....... ia rindu mendengar bunyi dering lonceng yang tadi menyelamatkan pikirannya. Rupanya bunyi lonceng itu bukan halusinasi, tapi pertanda  ................

            Tinker bell terbang sambil menaburkan debu ........ tiba-tiba debu itu bercahaya, dan cahayanya melesat ke langit ....... Tink menengadah, tampak olehnya beberapa Malaikat Tuhan, para Serafim dengan lagu puji-pujian dan Kerubim dengan pedang menyala-nyala. Di atas mereka, Tuhan tersenyum ............. Tink terseyum manis. Rambut pony-tail-nya bergerak dihembus angin yang berderu kencang. Pipinya menggelembung dan bersemu kemerah-merahan. Tinker Bell bersujud hormat, menundukkan kepala dan berbisik “Terimakasih, Tuhan .............”


---+---
 Dedeh Supantini, dalam: Buletin KDKJB.
Sebagai tanggapan atas artikel kiriman DG "sudah bosan hidup"

Tidak ada komentar: