Selasa, 01 Juli 2014

Keluarga menyikapi penderitaan



Dedeh Supantini 
Dibawakan dalam Acara “Family Association” Rumah Rehabilitasi NAPZA Yayasan Sekar Mawar Keuskupan Bandung 28 Juni 2014

Pendahuluan

Dalam rangka acara Family Association, Yayasan Sekar Mawar mengundang saya untuk membawakan satu sesi dengan tema “Keluarga menyikapi penderitaan”. Tentunya tema ini diusulkan oleh panitia karena dianggap relevan dengan tujuan Family Association ini, yaitu agar keluarga menjadi pendamping pemulihan yang baik walaupun dalam hal ini seluruh keluarga ikut mengalami saat-saat yang berat juga.
Membahas dan mendiskusikan penderitaan tidaklah mudah. Memang tidak ada manusia yang bebas dari penderitaan. Tetapi, bagi setiap orang, penderitaan merupakan pengalaman yang sangat subyektif, unik bagi dirinya sendiri. Kita tidak bisa mengukur beratnya penderitaan yang dialami oleh seseorang, kitapun tidak bisa membuat suatu rumusan jalan keluar yang bersifat umum. Namun penderitaan adalah realitas yang harus dihadapi, direnungkan, diterima dan dijalani dengan hati terbuka.
Semua orang ingin hidup bahagia. Semua keluarga ingin menjadi keluarga bahagia. Maka kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana mungkin kita menerima penderitaan dengan hati terbuka? Bisakah (atau tepatnya: maukah) kita menjalani penderitaan dengan damai?
Sebenarnya setiap peristiwa kehidupan selalu mempunyai dua sisi sekaligus, yaitu sisi kebaikan dan sisi keburukan. Penilaian kita atas suatu peristiwa akhirnya tergantung pada cara pandang kita dan bagaimana kita menyikapinya. Penderitaan juga mempunyai sisi positif: di balik penderitaan ada pesan-pesan kearifan yang dapat kita petik, ada tawaran rahmat yang bisa kita terima. Maka marilah kita mencoba untuk memandang penderitaan kita dengan kacamata positif. Barangkali ada makna yang bisa ambil dari penderitaan yang dihadapi oleh keluarga-keluarga kita. Barangkali ada semangat yang bisa dihidupi dan menjadi sumber kekuatan untuk menjalani semuanya dengan damai.

---

Keluarga dan Rumah Kita

Ketika membuat komitmen untuk hidup berkeluarga, semua pasangan mempunyai cita-cita untuk bahagia. Walaupun dalam sakramen Perkawinan kita mengucapkan janji “akan tetap setia dalam untung dan malang”, tapi pada dasarnya kita memasuki gerbang perkawinan dengan harapan akan “hidup bahagia selama-lamanya” seperti dalam dongeng-dongeng.
Mengutip kata-kata Kardinal Gianfranco Ravasi, rumah adalah simbol penting keluarga. Di dalamnya, suami-isteri dimeteraikan dalam cinta Allah untuk menghadirkan “batu kehidupan”, yakni anak-anak. Sedangkan isi rumah melambangkan tiga ruang penting, yaitu: ruang penderitaan, ruang bekerja, dan ruang perayaan.  
‘Ruang penderitaan’ diartikan sebagai ajakan untuk memahami problem keluarga secara bijak dan bertanggung jawab. Sebagai manusia, setiap anggota keluarga tidak lepas dari penderitaan. Dan sebagai suatu keluarga, penderitaan dari salah satu anggotanya pasti menjadi penderitaan bagi seluruh keluarga. Saat ini, kita melihat banyak luka keluarga yang menghancurkan arti tradisional keluarga: keluarga-keluarga yang pecah, anak-anak yang diabaikan, orangtua mengalami kecemasan karena anak-anak menggunakan obat penenang dan narkotika. Akibatnya, fondasi ‘rumah’ menjadi lemah.
‘Ruang bekerja’: keluarga mengolah dan membangun dunia dengan bekerja. ‘Ruang bekerja’ dipahami sebagai tanggung jawab nafkah bagi keluarga. Namun, sangat penting untuk membagi waktu antara kerja dan keluarga. Jangan sampai keluarga terabaikan karena kerja. Keluarga juga berkarya dan berkreasi untuk membangun hidup sesama dan lingkungannya.
Ketiga, ‘ruang perayaan’ hendaknya direfleksikan sebagai kegembiraan keluarga. Perayaan bukanlah  sekadar week-end, melainkan kesatuan keluarga untuk bercengkerama dan berbagi kasih. Perayaan keluarga dapat diwujudkan dalam doa bersama dan makan bersama. Justru dengan “ruang perayaan” inilah kita dapat menguatkan fondasi rumah menjadi kuat untuk menghadapi penderitaan bersama-sama.

---


Memasuki Ruang Penderitaan
 Penderitaan dan badai hidup dapat mengenai siapa saja tanpa kecuali: orang kaya maupun miskin, orang suci maupun orang berdosa. Penderitaan adalah pengalaman tak terhindarkan. Hanya saja, kita cenderung hanya mau menerima yang baik. Kita tidak mau menghadapi hal yang buruk, mau berhasil terus dan menolak kegagalan. Maka tidak aneh kalau banyak keluarga terpukul kalau salah satu anggota keluarganya terkena penyakit parah, kecelakaan, musibah, meninggal, hilang,  melakukan hal yang tercela, perselingkuhan, terlibat narkoba atau terlibat dalam  kejahatan. Dengan serta-merta, reaksi pertamanya adalah menolak kenyataan tersebut dengan keras.
Reaksi ini spontan, sangat manusiawi dan terjadi pada setiap orang yang menderita. Menurut Dr. Elisabeth Kubler Ross, ada lima tahapan emosi dalam menghadapi penderitaan:
1)   Penolakan:   Tidak mungkin, ini tidak mungkin terjadi pada keluarga kita!
2)   Kemarahan – mengamuk – anger:
Kenapa saya? Ini tidak adil, siapa yang harus disalahkan? Kita marah dan emosi, dan mencari sasaran untuk melampiaskan kemarahan kita. Lalu kita mulai mencari-cari siapa yang bisa disalahkan: ayah, ibu, anak, lingkungan pergaulan, sekolah, bahkan Allah. Kemarahan tertuju kepada orang-orang yang sebenarnya kita cintai, sehingga membuat suasana tidak menyenangkan dan serba salah. Kita merasa sedih, malu, menjauhkan diri dari apa yang kita anggap sebagai “biang keladi” atau “penyebab” penderitaan ini. Kita bisa berada pada tahap kemarahan ini sepanjang hidup kita. Tetapi, sebenarnya kita bisa melangkah lebih jauh dan masuk dalam tahap berikutnya.
3)   Tawar menawar:
Kita mulai menyadari bahwa hal itu nyata dan tidak bisa dihindarkan. Tidak mungkin kita melarikan diri dari kenyataan ataupun melarikan diri dari pandangan setiap orang yang seolah-olah tertuju pada kita. Kita mulai membuat janji pada Allah dan pada orang lain:  saya akan melakukan apapun kalau penderitaan ini berlalu, saya mau melayani Allah dan mengabdikan diri kepada sesama. Cetusan janji-janji ini sangat manusiawi dan sebenarnya menyiratkan perasaan bersalah.
4)   Depresi:
Bila pada tahap 3 orang tertuju pada Allah, maka pada tahap depresi orang terfokus pada penderitaannya sendiri:  “Apa gunanya lagi hidup ini? Saya merasa tidak ada harapan lagi dalam kepahitan yang tertanggungkan ini. Saya tidak peduli dengan apa pun lagi”. Di sini orang mulai menyalahkan diri sendiri, menyesali masa lalu, menarik diri dari orang lain. Tahap 4 ini harus dilalui, bukan dipertahankan. Artinya, setelah depresi, kita harus melangkah ke tahap berikutnya, yaitu keikhlasan menjalani semua penderitaan itu.
5)   Penerimaan: 
Semuanya akan baik-baik saja. Saya tidak dapat melawan kenyataan ini, lebih baik saya menerimanya dan menjalaninya.  Pada saat seseorang berani masuk ke dalam penderitaannya dengan ikhlas, maka ia bisa melangkah maju. Pada tahap ini kita mengakui penderitaan ini sebagai bagian dari sejarah hidup kita, dan dengan sadar mencoba untuk hidup di dalamnya.


---
 
Ruang Bekerja Kita: Memaknai Penderitaan

Ruang bekerja kita

Selain bekerja untuk memenuhi nafkah, di “ruang bekerja”, keluarga juga harus mengolah dan membangun hidup. Kita sudah masuk ke “ruang penderitaan” dan di sana kita menemukan realitas yang serba kacau dan gelap. Maka karya yang harus kita lakukan adalah: 1)  mengolah realitas penderitaan itu  agar dapat menjadi sebuah kenyataan yang bisa diterima, 2) memandang dari tempat gelap itu untuk menemukan terang, 3) menemukan maknanya untuk membangun hidup.
Mengolah dan menerima penderitaan
Ketika kita menyadari bahwa penderitaan adalah kenyataan yang tidak bisa kita hindarkan dan tidak bisa kita ubah, sebuah pertanyaan besar timbul dalam benak kita “Mengapa semua itu terjadi?”, “Mengapa saya harus mengalaminya?”
Pertanyaan itu tidak terjawab. Penderitaan terasa begitu berat dan menyakitkan sehingga adanya penderitaan tampak kontradiktif dengan ajaran agama yang sudah tertanam dalam pikiran kita sejak anak-anak: yakni bahwa Allah itu baik. Maka kita terus bertanya “Bila memang Allah baik, mengapa Ia membiarkan penderitaan ini terjadi?”
Pertanyaan ini digemakan selama berabad-abad, dan tetap tinggal sebagai pertanyaan tak terjawab. Namun, sejarah membuktikan bahwa banyak orang yang berhasil menjalani penderitaan yang berat dengan tetap mengimani bahwa “Allah sungguh-sungguh baik. Ia selalu ada bagi kita”.  Salah satunya adalah tawanan Nazi yang kisahnya dituliskan oleh Viktor Frankl dalam buku “Man’s search for Meaning”.
Frankl adalah seorang psikiater yang menjadi tawanan di kamp kosentrasi Nazi yang terkenal karena kekejamannya. Semua barang yang dibawa oleh tawanan yang baru sampai di kamp tersebut disita: bekal, pakaian, buku bacaan, Kitab Suci dan sebagainya. Semua identitas ditiadakan: kartu tanda pengenal dibuang, mereka ditelanjangi dan semua rambut di tubuh mereka dicukur habis. Akhirnya mereka diberi identitas baru, yaitu berupa sebuah nomor. Setiap tawanan dianggap tak bernama. Mereka hanya “barang bernomor” yang boleh diapakan saja sebelum diundi untuk mati dengan dua cara yang sama mengerikan: mati di kamar gas atau mati dalam penyiksaan panjang kerja paksa yang tidak manusiawi. Segala sesuatu direnggut secara paksa dan ditiadakan, termasuk kehidupan. Segala penderitaan ada di sana: kelaparan, kesakitan, kesepian, penganiayaan, pelecehan, penghinaan, pembuangan, dianggap bukan manusia.
Di kamp konsentrasi itu Frankl menyaksikan banyak orang yang putus asa. Namun ia menemukan ada orang-orang yang bisa bertahan hidup karena berharap bahwa suatu saat nanti akan bertemu kembali dengan orang yang dicintai. Bahkan, pada suatu hari, ia bertemu dengan sesama tawanan yang sedang sakit parah: seorang perempuan yang seluruh anggota keluarganya dibantai di depan matanya. Perempuan itu tahu bahwa dalam hitungan beberapa hari ia akan mati karena penyakitnya, namun wajahnya tetap tenang dan cerah, walaupun mereka berada di tempat yang sangat kumuh dan mengerikan.
Perempuan itu berkata “Dulu, saat hidupku berkelimpahan dan semua berjalan baik, aku tidak tertarik pada hal-hal yang rohani. Namun dalam penderitaan yang berat ini, aku merasa tenang, sebab dia selalu ada di sini. dia-lah satu-satunya sahabat dalam kesepianku kini”. Perempuan itu berkata demikian sambil menunjuk sebuah pohon yang tampak dari balik jeruji penjara mereka yang gelap, kotor dan berbau. Saat itu musim semi. Di antara dedaunan pohon tersebut, tampak beberapa tunas bunga. Perempuan itu mengatakan: “Setiap hari aku berbicara dengan-nya”.
Mulanya Frankl mengira orang tersebut sudah gila karena bicara pada pohon. Maka Frankl menanyakan apakah pohon itu mengatakan sesuatu kepadanya. Perempuan itu menjawab: “Ya, ia seolah-olah menyatakan: Aku di sini ....... Aku di sini ...... Akulah ....kehidupan”.  Sebuah jawaban yang mengingatkannya akan jawaban Allah kepada Musa di Gunung Sinai ketika Musa menanyakan siapa nama-Nya, dan Allah berfirman “Aku adalah Aku”.
Ketika perempuan yang tinggal tulang terbalut kulit itu memandang dari kegelapan penjara yang gelap, kumuh,  penuh kekejaman dan bayang-bayang kematian,  maka sebuah pohon sederhana menjadi  tanda kehidupan, tanda kehadiran Allah baginya. Ia percaya bahwa betapapun berat penderitaannya, namun Allah ada di sana, menyertainya, memberi kekuatan dan pengharapan pada setiap hari yang berat.  
Selama beberapa tahun hidup sebagai tawanan, Frankl mengamati bahwa sebagian besar penghuni kamp putus asa dan memandang kamp maut tersebut sebagai neraka yang tak berkesudahan. Tidak ada harapan bagi mereka. Setiap hari mereka harus mengalami kekejaman dan penderitaan yang lebih berat. Namun Frankl melihat ada beberapa orang yang rela membagi jatah makanan mereka sendiri yang minim kepada orang lain yang lebih memerlukan, atau menghibur orang lain yang putus asa. Dan hari itu ia menemukan seorang perempuan yang luar biasa. Frankl melihat kedamaian di wajah perempuan yang sekarat itu, padahal mereka semua berada dalam situasi yang sama, dalam kegelapan yang sama. Perempuan tadi memandang ke luar dari penjara mereka, melihat tanda Kehidupan dalam sebatang pohon, dan memilih untuk berharap kepada-Nya.  Maka Frankl menyimpulkan:segala sesuatu dapat direnggut dari manusia kecuali satu hal, kebebasan terakhir manusia – kebebasan untuk memilih sikapnya sendiri dalam keadaan apapun, kebebasan untuk memilih caranya sendiri.
Kita dapat memilih sikap dan cara kita dalam memandang penderitaan yang menimpa kita. Kita bisa terus memberontak, menolak atau melarikan diri dari kenyataan penderitaan. Namun ternyata bayang-bayangnya akan terus mengejar dan menghantui kita, sehingga kita merasa lelah.  Kita bisa tenggelam dalam kekecewaan dan kegelapan jiwa, merasa tidak ada harapan, terpuruk, sehingga hidup terasa berat.  Namun kita bisa memilih untuk menghayati pengalaman itu sebagai kesempatan untuk melihat tanda kehadiran Allah. Perempuan di kamp tadi memilih untuk mencari tanda kehadiran Allah dalam hal sederhana, sehingga ia menjalani hidupnya yang berat tersebut dengan damai.
Menemukan Terang: Penderitaan Yesus, penderitaan yang menyelamatkan
Untuk mendapatkan jawaban sesungguhnya tentang makna penderitaan, kita harus merujuk kepada wahyu ilahi, sumber utama dari segala makna. Jawaban ini telah diberikan oleh Allah kepada manusia dalam Salib Yesus Kristus.
Yesus adalah Putra Tunggal Allah yang rela menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. Ia memilih untuk dilahirkan ke dunia: Putera Tunggal Allah yang tak terbatas, masuk ke dalam sejarah manusia.  Ia hidup di dunia hanya selama 33 tahun. Selama berkarya di dunia, Ia membawa murid-murid-Nya mendekati penderitaan. “Ia berjalan berkeliling sambil berbuat baik”, dan karyanya diarahkan terutama kepada mereka yang menderita mencari pertolongan. Ia menyembuhkan orang sakit, menghibur orang yang kesusahan, memberi makan orang yang lapar, membebaskan orang dari tuli, kebutaan, dari penyakit lepra, dari setan dan dari berbagai kelumpuhan fisik, tiga kali ia membangkitkan orang mati. Ia sangat peduli terhadap penderitaan manusia, baik fisik maupun kejiwaan.
Pada saat yang sama, Yesus Kristus telah mendekati dunia penderitaan manusia dengan cara mengalami sendiri penderitaan ini di dalam diri-Nya sendiri. Selama melaksanakan misi-Nya, Ia mengalami sendiri kelelahan, jauh dari rumah, tanpa tempat tinggal, kesalah pahaman dari orang-orang yang dekat dengan-Nya, ditinggalkan oleh para murid-Nya, dikhianati, dihukum mati tanpa melakukan kesalahan, dan mengalami penganiayaan sebelum akhirnya wafat di Salib. Ia adalah Allah yang menderita bersama kita. Maka, Ia  memahami segala ketakutan, kesakitan, kesepian dan kesedihan kita.
Allah memilih penderitaan sebagai sebuah jalan untuk menyelamatkan manusia. Tujuan akhirnya sangat mulia: “agar manusia tidak binasa, tapi mempunyai hidup yang kekal”. Penderitaan dan wafat-Nya menunjukkan keagungan kasih Allah yang tak terbatas: kasih yang menyelamatkan. Kebangkitan-Nya menunjukkan bahwa dalam setiap penderitaan, Allah-lah yang mempunyai kata terakhir, yaitu keselamatan. Penderitaan Yesus adalah penderitaan yang menyelamatkan.
Jalan Allah berbeda dengan jalan yang dipilih oleh manusia. Secara rasional, manusia   memandang penderitaan sebagai hal yang perlu dihindari, namun Kristus mendekati dan memeluk penderitaan-Nya. Setelah memberi teladan dengan hidup-Nya, Yesus mengajak kita untuk melakukan hal yang sama: menerima dan memeluk penderitaan kita. “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikuti Aku”. Melalui perkataan ini Allah bukan menganjurkan kita untuk mengingini penderitaan; Ia mau mengatakan bahwa penderitaan tidak boleh kita ingkari atau kita singkirkan. Justru penderitaan harus kita peluk, kita terima dan kita angkat sebagai salib, sebab di balik salib itu tersembunyi kebangkitan dan keselamatan.

Menemukan makna dalam hidup  dan waktu kita
Kini kita mengerti bahwa Allah tidak mengharapkan kita melarikan diri dari penderitaan. Allah tidak ingin kita menghadapi penderitaan dengan mencari siapa yang bisa disalahkan. Kita diharapkan untuk menerima penderitaan itu dan mencoba mencari makna dari setiap peristiwa dan pribadi yang kita temui di sana. Kitab Amsal mengajarkan: aku memandangnya, aku memperhatikannya, aku melihatnya dan menarik suatu pelajaran” (Ams.24:32).
Saat ini, ketika keluarga anda menghadapi pengalaman penderitaan, mungkin anda bertanya “Apa makna dari penderitaan keluarga kami? Mengapa kami harus mengalaminya?” Mewakili kita semua, Viktor Frankl menjawab: “Pada akhirnya, manusia tidak perlu menanyakan apakah makna hidupnya, melainkan mengakui bahwa ia-lah yang ditanyai. Singkatnya, setiap orang dipertanyakan oleh kehidupan; dan ia hanya dapat menjawab kepada kehidupan dengan mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri; ia hanya dapat menjawab kepada kehidupan dengan cara bertanggung jawab”.
Kita tidak bisa mencari atau menemukan makna penderitaan kita dengan bertanya pada orang lain. Sebab kita sendirilah yang harus memberinya makna. Maka marilah kita belajar untuk memahami dan menamai peristiwa hidup tersebut sebagai rahmat Allah.
Apa makna dari penderitaan keluarga anda? Pasti banyak. Cobalah untuk memaknainya. Mungkin pada waktu hidup kita berjalan baik, kita tidak sadar bahwa kita menerima begitu banyak anugerah dan menganggapnya biasa saja. Dalam situasi penderitaan, mungkin kita menemukan pertolongan Tuhan. Misalnya melalui orang-orang yang menolong anggota keluarga anda untuk menjalani rehabilitasi.  Barangkali, Tuhan hadir melalui  kepedulian dan persaudaraan yang dirasakan di Sekar Mawar. Barangkali sekarang keluarga jadi lebih terbuka, mau saling mendengarkan harapan pribadi masing-masing. Barangkali anda bisa saling membantu dalam Family Association ini. Semua itu adalah tanda kehadiran dan campur tangan Allah. Melalui semua itu, Allah mau menyatakan bahwa Ia tidak pernah meninggalkan anda sendirian.
Mungkin anda masih mencari penjelasan, mengapa penderitaan seperti ini menimpa, mengapa anggota keluarga anda yang menjadi korban. Tetapi yang lebih penting adalah menyadari, bahwa melalui peristiwa ini, keluarga anda dipanggil oleh Allah untuk menampakkan keagungan Cinta Allah kepada anggota keluarga yang terjerumus. Inilah keagungan cinta-Nya: kerelaan untuk berkorban, memberikan diri dan selalu mengampuni.
---

Ruang Perayaan: 
Menjadikan Rumah Kita sebagai
Rumah untuk Pulang
Sebuah peribahasa mengatakan “A house is made of walls and beams; a home is built with love and dreams. Dalam peribahasa tadi, ciri-ciri “rumah” dinyatakan  bukan berdasarkan wujud fisik sebuah gedung rumah, tetapi berdasarkan apa yang menjadi inti keluarga. Inilah inti hidup berkeluarga: cinta, memberikan diri dengan sepenuh hati,  mendukung anggota keluarga untuk mencapai impian - menemukan keutuhan dirinya.

Rumah seperti itu adalah “rumah untuk pulang”. Setelah lelah bekerja, mengalami kegagalan atau penolakan di luar, ada tempat di mana kita diterima dengan cinta. Yang dimaksud dengan cinta di sini bukan semata-mata perasaan, melainkan komitmen untuk selalu setia. Cinta ini dianugerahkan Allah sebagai energi yang dicurahkan ke dalam hati dan budi kita. Sebagai energi, cinta bekerja menggerakkan hati untuk menerima dan memahami, menggerakkan kaki untuk melangkah menghampiri, menggerakkan tangan untuk memberi dan menolong. Karena berasal dari hati dan budi, cinta menampakkan diri sebagai keluhuran budi. Ia menghormati orang yang dicintai, menerima tanpa syarat, memberikan diri, rela berkorban, dan selalu siap mengampuni bahkan sebelum terluka. Betap mulianya cinta!
Jika rumah kita diisi dengan cinta yang seperti itu, maka “ruang perayaan keluarga” menjadi indah: menjadi tempat di mana setiap orang diterima seutuhnya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Di ruang ini seluruh anggota keluarga bisa duduk bersama, makan bersama, berdoa bersama  tanpa ada jurang pemisah antara “aku yang terluka dan kau yang melukai”. Masing-masing anggota keluarga mau setia, saling mendoakan, saling membantu untuk belajar menemukan makna dari penderitaan yang paling menyakitkan sekalipun. Sebagai keluarga, kita mengundang Allah untuk hadir dan menyerahkan kekuatiran kita kepada-Nya. Sebab, Ia bersabda: “Marilah kepada-Ku , semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu ".  
Bersama Allah, fondasi rumah kita menjadi kuat. Sebab kita tahu bahwa Ia setia dan pasti mendampingi kita melalui jalan penderitaan ini.  Maka keluarga menjadi kuat untuk menghadapi penderitaan bersama-sama. Kita saling mendampingi dalam situasi penderitaan dan mewakili Allah mengatakan satu sama lain “aku ada di sini, di sampingmu, bersamamu.............”
Di ruang perayaan, kita diundang untuk menampakkan kasih Allah dan  menamai rumah kita sebagai “Rumah untuk pulang”.
---
Penutup

Saudara-saudari yang terkasih, anda semua merasa lelah menghadapi penderitaan ini. Tetapi, tetaplah berjuang bersama Allah. Rasul Paulus berkata bahwa “baik maut maupun hidup, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, baik yang di atas maupun yang di bawah, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 8:38-39). Kasih Allah  bekerja dalam segala situasi. Kita hanya harus perlu mendeteksi, melalui tanda apa, melalui siapa Dia hadir bagi kita saat ini.
Saudara-saudari saat ini mendampingi anggota keluarga yang masih harus menjalani rehabilitasinya. Mereka membutuhkan “tempat untuk pulang”, tempat di mana mereka diterima dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Para keluarga juga membutuhkan rasa “diterima apa adanya” yang sama. Dan kita semua tahu, bahwa kita dapat selalu "pulang", beristirahat dan berpegang pada Allah. Sebab Allah kita adalah Kasih. Dan kasih itu menerima tanpa syarat, selalu memberi pengharapan.
Perjalanan ini tidak mudah. Tidak mudah berarti: “masih bisa dilakukan”.  Marilah kita tetap berjuang dengan tetap berharap kepada-Nya; dan percaya bahwa di dalam Dia, kata terakhir dari penderitaan adalah: harapan dan keselamatan.

--- + ---








---+---

Tidak ada komentar: