Dedeh Supantini
Dibawakan dalam Acara “Family Association” Rumah Rehabilitasi NAPZA Yayasan Sekar Mawar Keuskupan Bandung 28 Juni 2014
Dibawakan dalam Acara “Family Association” Rumah Rehabilitasi NAPZA Yayasan Sekar Mawar Keuskupan Bandung 28 Juni 2014
Pendahuluan
Dalam rangka acara Family Association, Yayasan Sekar
Mawar mengundang saya untuk membawakan satu sesi dengan tema “Keluarga
menyikapi penderitaan”. Tentunya tema ini diusulkan oleh panitia karena
dianggap relevan dengan tujuan Family Association ini, yaitu agar keluarga menjadi
pendamping pemulihan yang baik walaupun dalam hal ini seluruh keluarga ikut
mengalami saat-saat yang berat juga.
Membahas dan mendiskusikan penderitaan tidaklah mudah.
Memang tidak ada manusia yang bebas dari penderitaan. Tetapi, bagi
setiap orang, penderitaan merupakan pengalaman yang sangat subyektif, unik bagi
dirinya sendiri. Kita tidak bisa mengukur beratnya penderitaan yang dialami oleh
seseorang, kitapun tidak bisa membuat suatu rumusan jalan keluar yang bersifat
umum. Namun penderitaan adalah realitas yang harus dihadapi, direnungkan,
diterima dan dijalani dengan hati terbuka.
Semua orang ingin hidup bahagia. Semua
keluarga ingin menjadi keluarga bahagia. Maka kita mungkin bertanya-tanya,
bagaimana mungkin kita menerima penderitaan dengan hati terbuka? Bisakah (atau
tepatnya: maukah) kita menjalani penderitaan dengan damai?
Sebenarnya setiap peristiwa kehidupan selalu
mempunyai dua sisi sekaligus, yaitu sisi kebaikan dan sisi keburukan. Penilaian
kita atas suatu peristiwa akhirnya tergantung pada cara pandang kita dan
bagaimana kita menyikapinya. Penderitaan juga mempunyai sisi positif: di balik
penderitaan ada pesan-pesan kearifan yang dapat kita petik, ada tawaran rahmat
yang bisa kita terima. Maka marilah kita mencoba untuk memandang penderitaan kita
dengan kacamata positif. Barangkali ada makna yang bisa ambil dari penderitaan
yang dihadapi oleh keluarga-keluarga kita. Barangkali ada semangat yang bisa dihidupi dan menjadi sumber
kekuatan untuk menjalani semuanya dengan damai.
---
Keluarga dan Rumah
Kita
Ketika membuat komitmen untuk hidup
berkeluarga, semua pasangan mempunyai cita-cita untuk bahagia. Walaupun dalam
sakramen Perkawinan kita mengucapkan janji “akan tetap setia dalam untung dan
malang”, tapi pada dasarnya kita memasuki gerbang perkawinan dengan harapan
akan “hidup bahagia selama-lamanya” seperti dalam dongeng-dongeng.
Mengutip kata-kata Kardinal Gianfranco Ravasi, rumah adalah simbol penting
keluarga. Di dalamnya, suami-isteri dimeteraikan dalam cinta Allah untuk
menghadirkan “batu kehidupan”, yakni anak-anak. Sedangkan isi rumah
melambangkan tiga ruang penting, yaitu: ruang
penderitaan, ruang bekerja,
dan ruang perayaan.
‘Ruang penderitaan’ diartikan
sebagai ajakan untuk memahami problem keluarga secara bijak dan bertanggung
jawab. Sebagai manusia, setiap anggota keluarga tidak lepas
dari penderitaan. Dan sebagai suatu keluarga, penderitaan dari salah satu
anggotanya pasti menjadi penderitaan bagi seluruh keluarga. Saat ini, kita
melihat banyak luka keluarga yang menghancurkan arti tradisional keluarga:
keluarga-keluarga yang pecah, anak-anak yang diabaikan, orangtua mengalami
kecemasan karena anak-anak menggunakan obat penenang dan narkotika. Akibatnya,
fondasi ‘rumah’ menjadi lemah.
‘Ruang
bekerja’: keluarga mengolah dan membangun dunia dengan bekerja. ‘Ruang
bekerja’ dipahami sebagai tanggung jawab nafkah bagi keluarga. Namun, sangat
penting untuk membagi waktu antara kerja dan keluarga. Jangan sampai keluarga
terabaikan karena kerja. Keluarga juga berkarya dan berkreasi untuk membangun hidup
sesama dan lingkungannya.
Ketiga, ‘ruang
perayaan’ hendaknya direfleksikan sebagai kegembiraan keluarga.
Perayaan bukanlah sekadar week-end, melainkan
kesatuan keluarga untuk bercengkerama dan berbagi kasih. Perayaan keluarga
dapat diwujudkan dalam doa bersama dan makan bersama. Justru dengan “ruang
perayaan” inilah kita dapat menguatkan fondasi rumah menjadi kuat untuk
menghadapi penderitaan bersama-sama.
---
Memasuki Ruang
Penderitaan
Penderitaan dan badai hidup dapat mengenai siapa saja tanpa kecuali: orang
kaya maupun miskin, orang suci maupun orang berdosa. Penderitaan adalah
pengalaman tak terhindarkan. Hanya saja, kita cenderung hanya mau menerima yang
baik. Kita tidak mau menghadapi hal yang buruk, mau berhasil terus dan menolak
kegagalan. Maka tidak aneh kalau banyak keluarga terpukul kalau salah satu
anggota keluarganya terkena penyakit parah, kecelakaan, musibah, meninggal, hilang, melakukan hal yang tercela, perselingkuhan, terlibat
narkoba atau terlibat dalam kejahatan.
Dengan serta-merta, reaksi pertamanya adalah menolak kenyataan tersebut dengan
keras.
Reaksi ini
spontan, sangat manusiawi dan terjadi pada setiap orang yang menderita. Menurut Dr. Elisabeth
Kubler Ross, ada lima tahapan emosi dalam menghadapi penderitaan:
1) Penolakan: Tidak mungkin, ini tidak mungkin terjadi
pada keluarga kita!
2) Kemarahan – mengamuk – anger:
Kenapa saya? Ini tidak adil, siapa yang harus
disalahkan? Kita marah dan emosi, dan mencari sasaran untuk melampiaskan
kemarahan kita. Lalu kita mulai mencari-cari siapa yang bisa disalahkan: ayah,
ibu, anak, lingkungan pergaulan, sekolah, bahkan Allah. Kemarahan tertuju
kepada orang-orang yang sebenarnya kita cintai, sehingga membuat suasana tidak
menyenangkan dan serba salah. Kita merasa sedih, malu, menjauhkan diri dari apa
yang kita anggap sebagai “biang keladi” atau “penyebab” penderitaan ini. Kita
bisa berada pada tahap kemarahan ini sepanjang hidup kita. Tetapi, sebenarnya
kita bisa melangkah lebih jauh dan masuk dalam tahap berikutnya.
3) Tawar menawar:
Kita mulai menyadari bahwa hal itu nyata dan tidak
bisa dihindarkan. Tidak mungkin kita melarikan diri dari kenyataan ataupun
melarikan diri dari pandangan setiap orang yang seolah-olah tertuju pada kita.
Kita mulai membuat janji pada Allah dan pada orang lain: saya akan melakukan apapun kalau penderitaan
ini berlalu, saya mau melayani Allah dan mengabdikan diri kepada sesama.
Cetusan janji-janji ini sangat manusiawi dan sebenarnya menyiratkan perasaan
bersalah.
4) Depresi:
Bila pada tahap 3 orang tertuju pada Allah, maka pada
tahap depresi orang terfokus pada penderitaannya sendiri: “Apa gunanya lagi hidup ini? Saya merasa
tidak ada harapan lagi dalam kepahitan yang tertanggungkan ini. Saya tidak
peduli dengan apa pun lagi”. Di sini orang mulai menyalahkan diri sendiri,
menyesali masa lalu, menarik diri dari orang lain. Tahap 4 ini harus dilalui,
bukan dipertahankan. Artinya, setelah depresi, kita harus melangkah ke tahap
berikutnya, yaitu keikhlasan menjalani semua penderitaan itu.
5) Penerimaan:
Semuanya akan baik-baik saja. Saya tidak dapat melawan
kenyataan ini, lebih baik saya menerimanya dan menjalaninya. Pada saat seseorang berani masuk ke dalam penderitaannya
dengan ikhlas, maka ia bisa melangkah maju. Pada tahap ini kita mengakui
penderitaan ini sebagai bagian dari sejarah hidup kita, dan dengan sadar
mencoba untuk hidup di dalamnya.
---
Ruang Bekerja Kita: Memaknai Penderitaan
Ruang bekerja kita
Selain bekerja untuk memenuhi nafkah, di “ruang bekerja”, keluarga juga harus
mengolah dan membangun hidup. Kita sudah masuk ke “ruang penderitaan” dan di
sana kita menemukan realitas yang serba kacau dan gelap. Maka karya yang harus
kita lakukan adalah: 1) mengolah
realitas penderitaan itu agar dapat
menjadi sebuah kenyataan yang bisa diterima,
2) memandang dari tempat gelap itu untuk menemukan
terang, 3) menemukan maknanya
untuk membangun hidup.
Mengolah dan menerima penderitaan
Ketika kita menyadari bahwa penderitaan
adalah kenyataan yang tidak bisa kita hindarkan dan tidak bisa kita
ubah, sebuah
pertanyaan besar timbul dalam benak kita “Mengapa semua itu terjadi?”, “Mengapa saya
harus mengalaminya?”
Pertanyaan itu
tidak terjawab. Penderitaan
terasa begitu berat dan menyakitkan sehingga adanya penderitaan tampak
kontradiktif dengan
ajaran agama yang sudah tertanam dalam pikiran kita sejak anak-anak: yakni
bahwa Allah itu baik. Maka kita terus bertanya “Bila memang Allah baik,
mengapa Ia membiarkan penderitaan ini terjadi?”
Pertanyaan ini digemakan selama berabad-abad, dan tetap tinggal sebagai
pertanyaan tak terjawab. Namun, sejarah membuktikan bahwa banyak orang yang berhasil
menjalani penderitaan yang berat dengan tetap mengimani bahwa “Allah
sungguh-sungguh baik. Ia selalu ada bagi kita”.
Salah satunya adalah tawanan Nazi yang kisahnya dituliskan oleh Viktor
Frankl dalam buku “Man’s search for Meaning”.
Frankl adalah seorang psikiater yang menjadi tawanan di kamp kosentrasi Nazi yang terkenal
karena kekejamannya. Semua barang yang dibawa oleh tawanan yang baru sampai di
kamp tersebut disita: bekal, pakaian, buku bacaan, Kitab Suci dan sebagainya.
Semua identitas ditiadakan: kartu tanda pengenal dibuang, mereka ditelanjangi
dan semua rambut di tubuh mereka dicukur habis. Akhirnya mereka diberi
identitas baru, yaitu berupa sebuah nomor. Setiap tawanan dianggap tak bernama.
Mereka hanya “barang bernomor” yang boleh diapakan saja sebelum diundi untuk mati
dengan dua cara yang sama mengerikan: mati di kamar gas atau mati dalam
penyiksaan panjang kerja paksa yang tidak manusiawi. Segala sesuatu direnggut
secara paksa dan ditiadakan, termasuk kehidupan. Segala penderitaan ada di
sana: kelaparan, kesakitan, kesepian, penganiayaan, pelecehan, penghinaan,
pembuangan, dianggap bukan manusia.
Di kamp konsentrasi
itu Frankl menyaksikan banyak orang yang putus asa. Namun ia menemukan ada
orang-orang yang bisa bertahan hidup karena berharap bahwa suatu saat nanti
akan bertemu kembali dengan orang yang dicintai. Bahkan, pada suatu hari, ia
bertemu dengan sesama tawanan yang sedang sakit parah: seorang perempuan yang
seluruh anggota keluarganya dibantai di depan matanya. Perempuan itu tahu bahwa
dalam hitungan beberapa hari ia akan mati karena penyakitnya, namun wajahnya
tetap tenang dan cerah, walaupun mereka berada di tempat yang sangat kumuh dan
mengerikan.
Perempuan itu berkata
“Dulu, saat hidupku berkelimpahan dan semua berjalan baik, aku tidak tertarik
pada hal-hal yang rohani. Namun dalam penderitaan yang berat ini, aku merasa
tenang, sebab dia selalu ada di sini. dia-lah satu-satunya sahabat dalam
kesepianku kini”. Perempuan itu berkata demikian sambil menunjuk sebuah pohon
yang tampak dari balik jeruji penjara mereka yang gelap, kotor dan berbau. Saat
itu musim semi. Di antara dedaunan pohon tersebut, tampak beberapa tunas bunga.
Perempuan itu mengatakan: “Setiap hari aku berbicara dengan-nya”.
Mulanya Frankl mengira
orang tersebut sudah gila karena bicara pada pohon. Maka Frankl menanyakan
apakah pohon itu mengatakan sesuatu kepadanya. Perempuan itu menjawab: “Ya, ia seolah-olah
menyatakan: Aku di sini ....... Aku di sini ...... Akulah ....kehidupan”. Sebuah jawaban yang mengingatkannya akan jawaban
Allah kepada Musa di Gunung Sinai ketika Musa menanyakan siapa nama-Nya, dan
Allah berfirman “Aku adalah Aku”.
Ketika perempuan yang
tinggal tulang terbalut kulit itu memandang dari kegelapan penjara yang gelap, kumuh, penuh kekejaman dan bayang-bayang kematian, maka sebuah pohon sederhana menjadi tanda kehidupan, tanda kehadiran Allah baginya.
Ia percaya bahwa betapapun berat penderitaannya, namun Allah ada di sana, menyertainya,
memberi kekuatan dan pengharapan pada setiap hari yang berat.
Selama beberapa tahun hidup
sebagai tawanan, Frankl mengamati bahwa sebagian besar penghuni kamp putus asa
dan memandang kamp maut tersebut sebagai neraka yang tak berkesudahan. Tidak
ada harapan bagi mereka. Setiap hari mereka harus mengalami kekejaman dan
penderitaan yang lebih berat. Namun Frankl melihat ada beberapa orang yang rela membagi jatah makanan mereka sendiri yang minim kepada orang lain yang lebih memerlukan, atau menghibur orang lain yang putus asa. Dan hari itu ia menemukan seorang perempuan yang luar biasa. Frankl melihat kedamaian di wajah perempuan
yang sekarat itu, padahal mereka semua berada dalam situasi yang sama, dalam kegelapan
yang sama. Perempuan tadi memandang ke luar dari
penjara mereka, melihat tanda Kehidupan dalam sebatang pohon, dan memilih untuk
berharap kepada-Nya. Maka Frankl menyimpulkan: “segala sesuatu dapat direnggut dari manusia kecuali satu hal, kebebasan
terakhir manusia – kebebasan untuk memilih sikapnya sendiri dalam keadaan
apapun, kebebasan untuk memilih caranya sendiri.
Kita
dapat memilih sikap dan cara kita dalam memandang penderitaan yang menimpa
kita. Kita bisa terus memberontak, menolak atau melarikan diri dari kenyataan
penderitaan. Namun ternyata bayang-bayangnya akan terus mengejar dan menghantui
kita, sehingga kita merasa lelah. Kita
bisa tenggelam dalam kekecewaan dan kegelapan jiwa, merasa tidak ada harapan,
terpuruk, sehingga hidup terasa berat. Namun
kita bisa memilih untuk menghayati pengalaman itu sebagai kesempatan untuk
melihat tanda kehadiran Allah. Perempuan di kamp tadi memilih untuk mencari tanda
kehadiran Allah dalam hal sederhana, sehingga ia menjalani hidupnya yang berat
tersebut dengan damai.
Menemukan Terang: Penderitaan
Yesus, penderitaan yang menyelamatkan
Untuk mendapatkan jawaban sesungguhnya tentang makna penderitaan,
kita harus merujuk kepada wahyu ilahi, sumber utama dari segala makna. Jawaban
ini telah diberikan oleh Allah kepada manusia dalam Salib Yesus Kristus.
Yesus adalah
Putra Tunggal Allah yang rela menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. Ia
memilih untuk dilahirkan ke dunia: Putera Tunggal Allah yang tak terbatas,
masuk ke dalam sejarah manusia. Ia hidup di dunia
hanya selama 33 tahun. Selama berkarya di dunia, Ia membawa murid-murid-Nya mendekati
penderitaan. “Ia berjalan berkeliling sambil berbuat baik”, dan karyanya
diarahkan terutama kepada mereka yang menderita mencari pertolongan. Ia menyembuhkan
orang sakit, menghibur orang yang kesusahan, memberi makan orang yang lapar,
membebaskan orang dari tuli, kebutaan, dari penyakit lepra, dari setan dan dari
berbagai kelumpuhan fisik, tiga kali ia membangkitkan orang mati. Ia sangat
peduli terhadap penderitaan manusia, baik fisik maupun kejiwaan.
Pada saat yang sama, Yesus Kristus
telah mendekati dunia penderitaan manusia dengan cara mengalami sendiri
penderitaan ini di dalam diri-Nya sendiri. Selama melaksanakan misi-Nya, Ia
mengalami sendiri kelelahan, jauh dari rumah, tanpa tempat tinggal, kesalah
pahaman dari orang-orang yang dekat dengan-Nya, ditinggalkan oleh para
murid-Nya, dikhianati, dihukum mati tanpa melakukan kesalahan, dan mengalami
penganiayaan sebelum akhirnya wafat di Salib. Ia adalah Allah yang menderita
bersama kita. Maka, Ia memahami segala
ketakutan, kesakitan, kesepian dan kesedihan kita.
Allah memilih
penderitaan sebagai sebuah jalan untuk menyelamatkan manusia. Tujuan
akhirnya sangat mulia: “agar manusia tidak binasa, tapi mempunyai hidup yang
kekal”. Penderitaan
dan wafat-Nya menunjukkan keagungan kasih Allah yang tak terbatas: kasih yang
menyelamatkan. Kebangkitan-Nya menunjukkan bahwa dalam setiap penderitaan,
Allah-lah yang mempunyai kata terakhir, yaitu keselamatan. Penderitaan Yesus adalah penderitaan yang menyelamatkan.
Jalan
Allah berbeda dengan jalan yang dipilih oleh manusia. Secara rasional,
manusia memandang penderitaan sebagai
hal yang perlu dihindari, namun Kristus mendekati dan memeluk penderitaan-Nya.
Setelah memberi teladan dengan hidup-Nya, Yesus mengajak kita untuk melakukan hal
yang sama: menerima dan memeluk penderitaan kita. “Setiap orang yang mau
mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikuti
Aku”. Melalui perkataan ini Allah bukan
menganjurkan kita untuk mengingini penderitaan; Ia mau mengatakan bahwa penderitaan
tidak boleh kita ingkari atau kita singkirkan. Justru penderitaan harus kita peluk, kita
terima dan kita angkat sebagai salib, sebab di balik salib itu tersembunyi kebangkitan dan keselamatan.
Menemukan
makna dalam hidup dan waktu kita
Kini kita mengerti bahwa Allah tidak
mengharapkan kita melarikan diri dari penderitaan. Allah tidak ingin kita
menghadapi penderitaan dengan mencari siapa yang bisa disalahkan. Kita
diharapkan untuk menerima penderitaan itu dan mencoba mencari makna dari setiap
peristiwa dan pribadi yang kita temui di sana. Kitab Amsal mengajarkan: “aku memandangnya, aku
memperhatikannya, aku melihatnya dan menarik suatu pelajaran” (Ams.24:32).
Saat ini, ketika keluarga anda menghadapi pengalaman penderitaan, mungkin anda
bertanya “Apa makna dari penderitaan keluarga kami? Mengapa kami harus
mengalaminya?” Mewakili kita semua, Viktor Frankl menjawab: “Pada akhirnya,
manusia tidak perlu menanyakan apakah makna hidupnya, melainkan mengakui bahwa ia-lah yang ditanyai. Singkatnya, setiap orang dipertanyakan oleh kehidupan; dan ia hanya dapat menjawab kepada kehidupan dengan
mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri; ia hanya dapat menjawab kepada kehidupan dengan cara
bertanggung jawab”.
Kita tidak bisa mencari
atau menemukan makna penderitaan kita dengan bertanya pada orang lain. Sebab kita sendirilah yang harus memberinya makna.
Maka marilah kita belajar untuk memahami
dan menamai peristiwa hidup tersebut sebagai rahmat Allah.
Apa makna dari penderitaan keluarga anda? Pasti banyak. Cobalah untuk
memaknainya. Mungkin pada waktu hidup kita berjalan baik, kita tidak sadar
bahwa kita menerima begitu banyak anugerah dan menganggapnya biasa saja. Dalam
situasi penderitaan, mungkin kita menemukan pertolongan Tuhan. Misalnya melalui
orang-orang yang menolong anggota keluarga anda untuk menjalani rehabilitasi. Barangkali, Tuhan hadir melalui kepedulian dan persaudaraan yang dirasakan di
Sekar Mawar. Barangkali sekarang keluarga jadi lebih terbuka, mau saling
mendengarkan harapan pribadi masing-masing. Barangkali anda bisa saling
membantu dalam Family Association ini. Semua itu adalah tanda kehadiran dan
campur tangan Allah. Melalui semua itu, Allah mau menyatakan bahwa Ia tidak
pernah meninggalkan anda sendirian.
Mungkin anda masih mencari penjelasan, mengapa penderitaan
seperti ini menimpa, mengapa anggota keluarga anda yang menjadi korban. Tetapi
yang lebih penting adalah menyadari, bahwa melalui peristiwa ini, keluarga anda dipanggil oleh Allah untuk
menampakkan keagungan Cinta Allah kepada anggota keluarga yang terjerumus.
Inilah keagungan cinta-Nya: kerelaan untuk berkorban, memberikan diri dan
selalu mengampuni.
---
Ruang Perayaan:
Menjadikan Rumah Kita sebagai
Rumah untuk Pulang
Menjadikan Rumah Kita sebagai
Rumah untuk Pulang
Sebuah peribahasa mengatakan “A house is made of walls and beams; a home is built with love and
dreams”. Dalam peribahasa tadi,
ciri-ciri “rumah” dinyatakan bukan
berdasarkan wujud fisik sebuah gedung rumah, tetapi berdasarkan apa yang
menjadi inti keluarga. Inilah inti hidup berkeluarga: cinta, memberikan diri
dengan sepenuh hati, mendukung anggota
keluarga untuk mencapai impian - menemukan keutuhan dirinya.
Rumah
seperti itu adalah “rumah untuk pulang”.
Setelah lelah bekerja, mengalami kegagalan atau penolakan di luar, ada tempat
di mana kita diterima dengan cinta. Yang dimaksud dengan cinta di sini bukan
semata-mata perasaan, melainkan komitmen untuk selalu setia. Cinta ini dianugerahkan Allah sebagai energi yang dicurahkan ke dalam hati dan budi
kita. Sebagai energi, cinta bekerja menggerakkan hati untuk menerima dan
memahami, menggerakkan kaki untuk melangkah menghampiri, menggerakkan tangan
untuk memberi dan menolong. Karena berasal dari hati dan budi, cinta
menampakkan diri sebagai keluhuran budi. Ia menghormati orang yang dicintai, menerima
tanpa syarat, memberikan diri, rela berkorban, dan selalu siap mengampuni
bahkan sebelum terluka. Betap mulianya cinta!
Jika rumah kita diisi dengan cinta yang seperti itu, maka “ruang perayaan
keluarga” menjadi indah: menjadi tempat di mana setiap orang diterima
seutuhnya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Di ruang ini seluruh
anggota keluarga bisa duduk bersama, makan bersama, berdoa bersama tanpa ada jurang pemisah antara “aku yang
terluka dan kau yang melukai”. Masing-masing anggota keluarga mau setia, saling
mendoakan, saling membantu untuk
belajar menemukan makna dari penderitaan yang paling menyakitkan sekalipun. Sebagai keluarga, kita mengundang Allah untuk hadir dan
menyerahkan kekuatiran kita kepada-Nya. Sebab, Ia bersabda: “Marilah kepada-Ku , semua yang letih lesu dan
berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu ".
Bersama Allah, fondasi
rumah kita menjadi kuat. Sebab kita tahu bahwa Ia setia dan pasti mendampingi
kita melalui jalan penderitaan ini. Maka
keluarga menjadi kuat untuk menghadapi penderitaan bersama-sama. Kita saling
mendampingi dalam situasi penderitaan dan mewakili Allah mengatakan satu sama
lain “aku ada di sini, di sampingmu, bersamamu.............”
Di ruang perayaan, kita
diundang untuk menampakkan kasih Allah dan menamai rumah kita sebagai “Rumah untuk pulang”.
---
Penutup
Saudara-saudari yang terkasih, anda semua merasa lelah menghadapi penderitaan ini.
Tetapi, tetaplah berjuang bersama Allah. Rasul Paulus berkata bahwa “baik maut maupun hidup, baik yang
ada sekarang maupun yang akan datang, baik yang di atas maupun yang di bawah,
tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus
Yesus, Tuhan kita.” (Roma 8:38-39). Kasih Allah
bekerja dalam segala situasi. Kita hanya harus perlu mendeteksi, melalui
tanda apa, melalui siapa Dia hadir bagi kita saat ini.
Saudara-saudari saat ini mendampingi anggota keluarga yang masih harus
menjalani rehabilitasinya. Mereka membutuhkan “tempat untuk pulang”, tempat di
mana mereka diterima dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Para keluarga
juga membutuhkan rasa “diterima apa adanya” yang sama. Dan kita semua tahu,
bahwa kita dapat selalu "pulang", beristirahat dan berpegang pada Allah. Sebab Allah kita adalah Kasih.
Dan kasih itu menerima tanpa syarat, selalu memberi pengharapan.
Perjalanan
ini tidak mudah. Tidak mudah berarti: “masih bisa dilakukan”. Marilah kita tetap berjuang dengan tetap berharap kepada-Nya; dan percaya bahwa
di dalam Dia, kata terakhir dari penderitaan adalah: harapan dan keselamatan.
--- + ---
---+---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar