Sahabat saya pernah menceritakan tentang
pasiennya, seorang pemuda yang harus dirujuk ke Rumah Sakit gara-gara pelit.
Nah, lho ... bagaimana bisa begitu? Begini kejadiannya. Pada suatu hari,
seorang pemuda pulang dari bekerja dengan membawa sebuah durian. Durian itu dibeli
di kebunnya langsung, dan waktu dicicipi rasanya benar-benar top markotop,
sayang sekali uangnya hanya cukup untuk membeli satu buah saja. Sang pemuda membayangkan, buah durian itu pasti enak kalau dinikmati bersama-sama keluarga
di rumah, namun demikian dia mulai berhitung: kalau disantap bersama keluarga, dia mungkin hanya akan kebagian
satu atau dua biji saja. Wah ... padahal durian ini dibeli dengan hasil jerih
payahnya dan ... enak sekali. Maka ia memutuskan untuk diam-diam menikmatinya
sendiri. Dan terjadilah: pemuda itu makan durian di kamarnya, sambil duduk
bersandar di tempat tidurnya. Karena posisi duduk yang terlalu santai saat
makan tersebut, tiba-tiba durian yang sedang dinikmatinya itu tergelincir
bersama bijinya, masuk ke dalam kerongkongan dan tersangkut di sana (masih
untung tidak langsung menyumbat jalan nafas dan menyebabkan kematian), Wah,
tidak bisa diceritakan bagaimana paniknya sang pemuda dan keluarganya. Dokter
di sebelah rumahnya –sahabat saya- berusaha mengatasi hal tersebut tapi tidak
berhasil, dan pemuda pelit itu
terpaksa dikirim ke Rumah Sakit!
Kita juga kadang-kadang bersikap pelit seperti itu. Kita menyimpan
makanan terbaik untuk kita sendiri, kita menyimpan bagian-bagian terbaik dari
suatu apapun ... untuk dinikmati sendiri. Kita takut, bila makanan atau hal
apapun tersebut dibagikan lantas kita
menjadi kekurangan atau jangan-jangan pemberian kita ditolak! Maka, ketika
melihat sekelompok anak pemungut sampah atau anak jalanan yang sedang mengais-ngais
tempat sampah di depan sebuah Mall, kita tidak tergerak untuk memberikan roti yang padahal kita beli
dalam jumlah cukup banyak di Bakery
sebelahnya. Kita menganggap bahwa mereka tidak memerlukan pemberian kita dan
berpikir bahwa mereka bisa memperoleh makanan sendiri, atau (berharap) ada orang lain yang
akan berbagi dengan mereka.
Hal
itu terjadi juga dengan murid-murid Yesus, ketika Yesus naik ke atas gunung dekat danau
Tiberias dan banyak orang berbondong-bondong datang kepada-Nya sampai hari
menjelang petang. Saat Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” Filipus langsung
menjawab “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun
masing-masing mendapat sepotong kecil saja.” (bdk. Yoh 6:1-7) Padahal, mungkin saat itu ia mempunyai roti juga, namun ia mengelak “Ah,
milikku, mah, cuma ini, mana cukup untuk dibagikan? Orang lain punya yang lebih
baik dan lebih banyak, kok, Tuhan.”
Repons Filipus ini bukankah merupakan respons spontan
kita juga ketika suara hati kita memanggil kita untuk berbagi sesuatu, namun
pikiran kita menimbang-nimbang untung-ruginya, kemudian mengelak dari
tanggungjawab kita. Atau mungkin bukan menghindar dari tanggungjawab, namun kita
berpikir “Tuhan bisa melakukannya sendiri, Ia tidak memerlukan aku untuk itu”. Sebab bukankah “hal itu dikatakan-Nya untuk mencobai dia, sebab Ia sendiri tahu, apa yang hendak
dilakukan-Nya” (Yoh. 6:6). Memang benar Tuhan
tahu apa yang hendak dilakukan-Nya, yaitu memanggil kita untuk terlibat dalam
membagikan berkat yang telah Ia berikan untuk dibagikan, “supaya hidupmu
sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah
lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.”
(Ef 4:1-2). Tuhan
memerlukan kita untuk memulai tindakan saling mengasihi dan saling membantu,
agar orang lain tergerak untuk melakukannya juga. Akhirnya tergantung kita,
apakah kita mau menjawab panggilan itu atau tidak.
Kini coba kita lihat anak kecil
dalam Yoh 6:9 yang langsung tergerak untuk menyerahkan lima roti jelai dan dua
ikan yang dimilikinya kepada Tuhan. Anak kecil biasanya lebih egois dan suka menyimpan miliknya
sendiri. Bukankah kita sering melihat seorang anak tidak mau berbagi dengan
temannya dan mengatakan “ini punyaku,
bukan untuk dibagikan!”, sehingga temannya berkomentar “ih, pelit !” Tetapi
anak kecil dalam Injil ini berbeda, ia begitu bebas, begitu tulus memberi. Sewaktu
saya mencoba untuk membayangkan motivasi apa yang mendorong anak ini untuk
menyerahkan makanannya kepada Tuhan, jawaban yang saya temukan adalah: “Supaya
dekat dengan Tuhan.”
“Supaya
dekat dengan Tuhan”! Sederhana sekali. Ketika kita dipanggil untuk berbagi
dengan “pesan” bahwa hal tersebut adalah tugas dan tanggungjawab kita, kita
merasa berat dan mencari alasan untuk menghindar. Tetapi anak kecil tadi
memberi alasan yang sangat menggerakkan kita. Coba bayangkan bahwa di tempat tadi Yesus dikelilingi oleh lima ribu orang, sehingga tidak
semua orang bisa mendekat. Maka ketika mendengar Tuhan memerlukan roti untuk
memberi mereka makan, anak kecil tadi langsung menawarkan rotinya kepada Tuhan,
agar ia mendapat jalan untuk menerobos kerumunan orang banyak, dan mendekat
kepada Tuhan! Bahwa makanan yang
dimilikinya cuma secuil dan tampak tidak berarti (mana bisa memberi makan orang
sebanyak itu?) tidak perlu dipikirkan. Yang penting ia bisa dekat dengan Tuhan.
Dan ternyata Tuhan tidak menolak, Ia bahkan mengucap syukur atas hal tersebut
(Yoh 6:11).
Maka,
ketika kita diminta untuk membagikan sesuatu dari diri kita, ingatlah bahwa
panggilan berbagi itu adalah sebuah jalan bagi kita untuk dekat dengan Tuhan. Dan, bukankah kita rindu untuk dekat dengan-Nya ...
DH. November 2014 @ Rumah retret Pratista.