Minggu, 30 November 2014

Berbagi


    Sahabat saya pernah menceritakan tentang pasiennya, seorang pemuda yang harus dirujuk ke Rumah Sakit gara-gara pelit. Nah, lho ... bagaimana bisa begitu? Begini kejadiannya. Pada suatu hari, seorang pemuda pulang dari bekerja dengan membawa sebuah durian. Durian itu dibeli di kebunnya langsung, dan waktu dicicipi rasanya benar-benar top markotop, sayang sekali uangnya hanya cukup untuk membeli satu buah saja. Sang pemuda membayangkan, buah durian itu pasti enak kalau dinikmati bersama-sama keluarga di rumah, namun demikian dia mulai berhitung: kalau disantap bersama keluarga, dia mungkin hanya akan kebagian satu atau dua biji saja. Wah ... padahal durian ini dibeli dengan hasil jerih payahnya dan ... enak sekali. Maka ia memutuskan untuk diam-diam menikmatinya sendiri. Dan terjadilah: pemuda itu makan durian di kamarnya, sambil duduk bersandar di tempat tidurnya. Karena posisi duduk yang terlalu santai saat makan tersebut, tiba-tiba durian yang sedang dinikmatinya itu tergelincir bersama bijinya, masuk ke dalam kerongkongan dan tersangkut di sana (masih untung tidak langsung menyumbat jalan nafas dan menyebabkan kematian), Wah, tidak bisa diceritakan bagaimana paniknya sang pemuda dan keluarganya. Dokter di sebelah rumahnya –sahabat saya- berusaha mengatasi hal tersebut tapi tidak berhasil, dan pemuda pelit itu terpaksa dikirim ke Rumah Sakit!

    Kita juga kadang-kadang bersikap pelit seperti itu. Kita menyimpan makanan terbaik untuk kita sendiri, kita menyimpan bagian-bagian terbaik dari suatu apapun ... untuk dinikmati sendiri. Kita takut, bila makanan atau hal apapun tersebut  dibagikan lantas kita menjadi kekurangan atau jangan-jangan pemberian kita ditolak! Maka, ketika melihat sekelompok anak pemungut sampah atau anak jalanan yang sedang mengais-ngais tempat sampah di depan sebuah Mall, kita tidak tergerak untuk memberikan roti yang padahal kita beli dalam jumlah cukup banyak di Bakery sebelahnya. Kita menganggap bahwa mereka tidak memerlukan pemberian kita dan berpikir bahwa mereka bisa memperoleh makanan sendiri, atau (berharap) ada orang lain yang akan berbagi dengan mereka.

     Hal itu terjadi juga dengan murid-murid Yesus, ketika Yesus naik ke atas gunung dekat danau Tiberias dan banyak orang berbondong-bondong datang kepada-Nya sampai hari menjelang petang. Saat Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya  “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” Filipus langsung menjawab “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.” (bdk. Yoh 6:1-7) Padahal, mungkin saat itu ia mempunyai roti juga, namun ia mengelak “Ah, milikku, mah, cuma ini, mana cukup untuk dibagikan? Orang lain punya yang lebih baik dan lebih banyak, kok, Tuhan.”  


      Repons Filipus ini bukankah merupakan respons spontan kita juga ketika suara hati kita memanggil kita untuk berbagi sesuatu, namun pikiran kita menimbang-nimbang untung-ruginya, kemudian mengelak dari tanggungjawab kita. Atau mungkin bukan menghindar dari tanggungjawab, namun kita berpikir “Tuhan bisa melakukannya sendiri, Ia tidak memerlukan aku untuk itu”. Sebab bukankah “hal itu dikatakan-Nya untuk mencobai dia, sebab Ia sendiri tahu, apa yang hendak dilakukan-Nya” (Yoh. 6:6). Memang benar Tuhan tahu apa yang hendak dilakukan-Nya, yaitu memanggil kita untuk terlibat dalam membagikan berkat yang telah Ia berikan untuk dibagikan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan  itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Ef 4:1-2). Tuhan memerlukan kita untuk memulai tindakan saling mengasihi dan saling membantu, agar orang lain tergerak untuk melakukannya juga. Akhirnya tergantung kita, apakah kita mau menjawab panggilan itu atau tidak.

     Kini coba kita lihat anak kecil dalam Yoh 6:9 yang langsung tergerak untuk menyerahkan lima roti jelai dan dua ikan yang dimilikinya kepada Tuhan. Anak kecil biasanya lebih egois dan suka menyimpan miliknya sendiri. Bukankah kita sering melihat seorang anak tidak mau berbagi dengan temannya dan mengatakan “ini punyaku, bukan untuk dibagikan!”, sehingga temannya berkomentar “ih, pelit !” Tetapi anak kecil dalam Injil ini berbeda, ia begitu bebas, begitu tulus memberi. Sewaktu saya mencoba untuk membayangkan motivasi apa yang mendorong anak ini untuk menyerahkan makanannya kepada Tuhan, jawaban yang saya temukan adalah: “Supaya dekat dengan Tuhan.”

    “Supaya dekat dengan Tuhan”! Sederhana sekali. Ketika kita dipanggil untuk berbagi dengan “pesan” bahwa hal tersebut adalah tugas dan tanggungjawab kita, kita merasa berat dan mencari alasan untuk menghindar. Tetapi anak kecil tadi memberi alasan yang sangat menggerakkan kita. Coba bayangkan bahwa di tempat tadi Yesus dikelilingi oleh lima ribu orang, sehingga tidak semua orang bisa mendekat. Maka ketika mendengar Tuhan memerlukan roti untuk memberi mereka makan, anak kecil tadi langsung menawarkan rotinya kepada Tuhan, agar ia mendapat jalan untuk menerobos kerumunan orang banyak, dan mendekat kepada Tuhan!  Bahwa makanan yang dimilikinya cuma secuil dan tampak tidak berarti (mana bisa memberi makan orang sebanyak itu?) tidak perlu dipikirkan. Yang penting ia bisa dekat dengan Tuhan. Dan ternyata Tuhan tidak menolak, Ia bahkan mengucap syukur atas hal tersebut (Yoh 6:11).

    Maka, ketika kita diminta untuk membagikan sesuatu dari diri kita, ingatlah bahwa panggilan berbagi itu adalah sebuah jalan bagi kita untuk dekat dengan Tuhan. Dan, bukankah kita rindu untuk dekat dengan-Nya ...
     
   DH. November 2014 @ Rumah retret Pratista.

Tidak ada komentar: