Saya masih ingat, sejak mulai masuk Taman Kanak-kanak, mama selalu membawakan bekal bila kami berangkat ke
sekolah: pisang goreng, jajan pasar atau paling mewah roti berlapis selai. Kebiasaan membawa bekal ini saya bawa
sampai sekarang. Kemanapun saya pergi, pasti berbekal makanan. Kalaupun pergi
jauh bersama keluarga, pasti saya berbekal roti maupun kue yang tahan lama dan cukup untuk di
perjalanan. Mengapa? Sebab saya takut bahwa di tempat liburan tidak ada makanan
kesukaan anak-anak. Maka, dalam keluarga saya dijuluki “Mc Donald”, dan ada
pepatah di keluarga kami“jangan takut, kalau ada Dedeh ... pasti cukup bekal makanan...”.
Pada suatu hari, ketika akan pergi berlibur bersama keluarga
besar, saya sudah membeli roti dan brownies favorit. Tapi, karena terlambat
bangun dan terburu-buru pergi, maka semua calon perbekalan itu tidak terbawa
.... Semuanya tertinggal di rumah, dan hal itu baru saya sadari setelah sampai di bandara.
Wah, bagaimana ini ... Padahal, baru saja saya membanggakan diri kepada
mama “tenang ma, perbekalan banyak, di mana ada saya, pasti cukup makanan ...
“.
Kisah dalam Injil hari ini menceritakan tentang kegalauan yang
terjadi pada murid-murid Yesus yang ternyata lupa membawa bekal juga (hanya
satu roti saja yang ada pada mereka dalam perahu). Ketika mengetahui hal itu,
Yesus memperingatkan: “Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi
dan ragi Herodes” (Mrk 8:14-21). Nah, ketika mendengar Yesus menyebut “ragi”
(Mrk 8:15), mereka langsung berpikir bahwa Yesus menegur mereka karena
tidak membawa bekal roti, dan mereka memperbincangkannya .… Padahal, yang
dimaksud Yesus sebagai “ragi” di sini mengacu kepada suatu sumber yang
mampu menumbuh-kembangkan sesuatu. Para murid ini gagal untuk memahami
peringatan Sang Guru, sehingga Yesus menegur dan memperingatkan mereka agar
waspada terhadap “ragi orang Farisi” yang adalah kepicikan dan kepentingan-diri
sendiri (nama besar, keinginan untuk dianggap terpandang), juga waspada
terhadap “ragi Herodes” yaitu hedonisme dan menghalalkan segala cara. Maksud
Yesus, janganlah karya mereka bersumber pada “ragi” kebanggaan diri
semacam itu. Hasil pertumbuhan dari “ragi” seperti itu adalah rasa tidak
percaya satu sama lain, kecurigaan, dan pertentangan, sehingga karya mereka
akan berkembang menjadi adonan yang jauh dari kasih dan kuasa Allah.
Teguran Yesus kepada para murid tersebut kalau dinyatakan dalam bahasa sehari-hari, mungkin kira-kira seperti ini
“Aduh, kalian itu gimana sih, sudah lama ikut Aku, tapi ... dalam karya yang
kalian lakukan untuk-Ku, kalian malah mengandalkan diri sendiri. Apa kalian
lupa bahwa Aku dapat melakukan apapun yang harus Kulakukan ....... bukankah
kalian telah menyaksikan mukjizat-mukjizat yang Kubuat ... menyaksikan tanda kehadiran Allah dalam diri-Ku”. Yesus mau
mengingatkan mereka: mengapa mereka masih bersandar kepada kemampuan dan
rencana pribadi dalam berkarya di ladang Tuhan ... padahal mereka berjalan
bersama Tuhan sendiri? Bukankah para murid Yesus itu mempunyai akses kepada suatu
sumber kekuatan yang luar biasa yaitu Allah sendiri, “ragi sejati” yang selalu
berhasil melakukan kehendak-Nya, Roti Hidup yang selalu dapat mencukupi kita.
Akhirnya, Injil hari ini mengajak kita merenungkan kehidupan kita selama
ini. Dalam pekerjaan dan hidup kita, terutama dalam karya pelayanan kita di
Gereja, apakah kita bersandar pada “bekal roti duniawi” kita pribadi yaitu
kepandaian, keuletan, kreativitas? Kalau masih demikian, boleh jadi ketika ada
satu kegiatan yang tidak berjalan sesuai dengan rencana detil kita, lalu kita
kecewa dengan atasan kita, staf kita, atau teman yang bekerjasama dengan kita
..... lalu hal itu menjadi perdebatan.
Bila kita menyebut diri sebagai murid-murid Yesus, mestinya kita
telah mengenal-Nya dan mengetahui bahwa Ia menghendaki agar kita berani
bersandar kepada-Nya. Jika kita menyediakan diri untuk melakukan pekerjaan-Nya, Tuhan akan memberi bekal tambahan yang
mencukupi: karunia dari Roh Kudus. Dengan demikian, kita tidak
hanya bekerja dengan sumber daya yang berasal dari diri sendiri, melainkan
Kristus dalam diri kita-lah yang menjadi sumber inspirasi, sumber kekuatan dan
tujuan akhir pelayanan kita.
Dalam cerita liburan keluarga saya tadi, ketika ketinggalan
bekal, saya benar-benar galau, merasa kehilangan citra sebagai “Mc Donald – si
ibu yang terencana dengan perbekalan”. Tapi, akhirnya saya sadari bahwa tanpa
membawa bekal, terbuka kesempatan bagi kami untuk merasakan nikmatnya makanan
khas setempat ... dan ternyata seluruh keluarga menikmati hal ini.
Nah, dalam seluruh perjalanan hidup kita, terutama dalam
karya pelayanan kita di Gereja, marilah kita juga membuka diri terhadap karunia dari
Roh Kudus. Selain berusaha sebaik mungkin dengan kemampuan kita yang tidak
seberapa, bukalah diri agar Tuhan memberi bekal tambahan yang mencukupi
kita: karunia Roh Kudus-Nya. Percayalah, akhirnya, bukan diri kita pribadi, namun Tuhan
sendiri yang akhirnya selalu berhasil menyempurnakan semua pekerjaan itu.
Doa: "Ya Tuhan, berjalanlah bersamaku, jadilah penopang semua keputusan-keputusanku. Hanya bersama-Mu, aku dapat menjalankan kehidupan yang Kau anugerahkan kepadaku. Terpujilah Allah selama-lamanya".
by: DH @ KEP 6.
Renungan 17 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar