Senin, 16 Februari 2015

Bekal yang dapat mencukupi kita

(Renungan berdasarkan Mrk 8:14-21)
Saya masih ingat, sejak mulai masuk Taman Kanak-kanak, mama selalu membawakan bekal bila kami berangkat ke sekolah: pisang goreng, jajan pasar atau paling mewah roti berlapis selai. Kebiasaan membawa bekal ini saya bawa sampai sekarang. Kemanapun saya pergi, pasti berbekal makanan. Kalaupun pergi jauh bersama keluarga, pasti saya berbekal roti maupun kue yang tahan lama dan cukup untuk di perjalanan. Mengapa? Sebab saya takut bahwa di tempat liburan tidak ada makanan kesukaan anak-anak. Maka, dalam keluarga saya dijuluki “Mc Donald”, dan ada pepatah di keluarga kami“jangan takut, kalau ada Dedeh ... pasti cukup bekal makanan...”.
Pada suatu hari, ketika akan pergi berlibur bersama keluarga besar, saya sudah membeli roti dan brownies favorit. Tapi, karena terlambat bangun dan terburu-buru pergi, maka semua calon perbekalan itu tidak terbawa .... Semuanya tertinggal di rumah, dan hal itu baru saya sadari setelah sampai di bandara. Wah, bagaimana ini ...  Padahal, baru saja saya membanggakan diri kepada mama “tenang ma, perbekalan banyak, di mana ada saya, pasti cukup makanan ... “.
Kisah dalam Injil hari ini menceritakan tentang kegalauan yang terjadi pada murid-murid Yesus yang ternyata lupa membawa bekal juga (hanya satu roti saja yang ada pada mereka dalam perahu). Ketika mengetahui hal itu, Yesus memperingatkan: “Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi Herodes” (Mrk 8:14-21). Nah, ketika mendengar Yesus menyebut “ragi” (Mrk 8:15), mereka langsung berpikir bahwa Yesus menegur mereka karena tidak membawa bekal roti, dan mereka memperbincangkannya .… Padahal, yang dimaksud Yesus sebagai “ragi” di sini mengacu kepada suatu sumber yang mampu menumbuh-kembangkan sesuatu. Para murid ini gagal untuk memahami peringatan Sang Guru, sehingga Yesus menegur dan memperingatkan mereka agar waspada terhadap “ragi orang Farisi” yang adalah kepicikan dan kepentingan-diri sendiri (nama besar, keinginan untuk dianggap terpandang), juga waspada terhadap “ragi Herodes” yaitu hedonisme dan menghalalkan segala cara. Maksud Yesus, janganlah karya mereka bersumber pada  “ragi” kebanggaan diri semacam itu.  Hasil pertumbuhan dari “ragi” seperti itu adalah rasa tidak percaya satu sama lain, kecurigaan, dan pertentangan, sehingga karya mereka akan berkembang menjadi adonan yang jauh dari kasih dan kuasa Allah.
Teguran Yesus kepada para murid tersebut kalau dinyatakan dalam bahasa sehari-hari, mungkin kira-kira seperti ini “Aduh, kalian itu gimana sih, sudah lama ikut Aku, tapi ... dalam karya yang kalian lakukan untuk-Ku, kalian malah mengandalkan diri sendiri. Apa kalian lupa bahwa Aku dapat melakukan apapun yang harus Kulakukan ....... bukankah kalian telah menyaksikan mukjizat-mukjizat yang Kubuat ... menyaksikan tanda kehadiran Allah dalam diri-Ku”.  Yesus mau mengingatkan mereka: mengapa mereka  masih bersandar kepada kemampuan dan rencana pribadi dalam berkarya di ladang Tuhan  ... padahal mereka berjalan bersama Tuhan sendiri? Bukankah para murid Yesus itu mempunyai akses kepada suatu sumber kekuatan yang luar biasa yaitu Allah sendiri, “ragi sejati” yang selalu berhasil melakukan kehendak-Nya, Roti Hidup yang selalu dapat mencukupi kita.
Akhirnya, Injil hari ini mengajak kita merenungkan kehidupan kita selama ini. Dalam pekerjaan dan hidup kita, terutama dalam karya pelayanan kita di Gereja, apakah kita bersandar pada “bekal roti duniawi” kita pribadi yaitu kepandaian, keuletan, kreativitas? Kalau masih demikian, boleh jadi ketika ada satu kegiatan yang tidak berjalan sesuai dengan rencana detil kita, lalu kita kecewa dengan atasan kita, staf kita, atau teman yang bekerjasama dengan kita ..... lalu hal itu menjadi perdebatan.
Bila kita menyebut diri sebagai murid-murid Yesus, mestinya kita telah mengenal-Nya dan mengetahui bahwa Ia menghendaki agar kita berani bersandar kepada-Nya. Jika kita menyediakan diri untuk melakukan pekerjaan-Nya, Tuhan akan memberi bekal tambahan yang mencukupi: karunia dari Roh Kudus.  Dengan demikian, kita tidak hanya bekerja dengan sumber daya yang berasal dari diri sendiri, melainkan Kristus dalam diri kita-lah yang menjadi sumber inspirasi, sumber kekuatan dan tujuan akhir pelayanan kita.
Dalam cerita liburan keluarga saya tadi, ketika ketinggalan bekal, saya benar-benar galau, merasa kehilangan citra sebagai “Mc Donald – si ibu yang terencana dengan perbekalan”. Tapi, akhirnya saya sadari bahwa tanpa membawa bekal, terbuka kesempatan bagi kami untuk merasakan nikmatnya makanan khas setempat ... dan ternyata seluruh keluarga menikmati hal ini.
Nah, dalam seluruh perjalanan hidup kita, terutama dalam karya pelayanan kita di Gereja, marilah kita juga membuka diri terhadap karunia dari Roh Kudus. Selain berusaha sebaik mungkin dengan kemampuan kita yang tidak seberapa, bukalah diri agar Tuhan memberi bekal tambahan yang mencukupi  kita: karunia Roh Kudus-Nya. Percayalah, akhirnya, bukan diri kita pribadi, namun Tuhan sendiri yang akhirnya selalu berhasil menyempurnakan semua pekerjaan itu.
Doa: 
"Ya Tuhan, berjalanlah bersamaku, jadilah penopang semua keputusan-keputusanku. Hanya bersama-Mu, aku dapat menjalankan kehidupan yang Kau anugerahkan kepadaku. Terpujilah Allah selama-lamanya".

by: DH @ KEP 6. Renungan 17 Februari 2015




Tidak ada komentar: