Pasien istimewaku minggu ini adalah seorang bapak dengan
kelumpuhan yang hampir total di seluruh tubuhnya. Karena penyakitnya, bapak ini
hanya bisa berbaring sepanjang sisa hidupnya yang entah sampai kapan.
Kelumpuhan itu dialaminya karena sebuah penyakit langka yang berjalan progresif
lambat sejak 10 tahun yang lalu, dan ia mengetahuinya dengan pasti ketika
seorang dokter menjelaskan hal itu kepadanya. Ia juga mencari-cari informasi
dari internet mengenai pengobatan penyakit tersebut ... dan menemukan bahwa
penyakitnya tidak dapat diobati.
Karena itu ia memutuskan untuk tidak mengkonsumsi vitamin-vitamin
yang diberikan oleh dokternya, dan menjalani hidupnya dengan sebaik mungkin,
mempersiapkan diri bahwa pada suatu hari ia akan mencapai kondisi seperti hari
ini: kedua tungkainya hanya mampu ditekuk sedikit pada posisi berbaring, kedua
lengannya lumpuh total, hanya pergelangan tangan dan jarinya dapat sedikit
digerakkan ... dengan kekuatan yang kadang cukup untuk menekan mouse komputer,
kadang terlalu lemah untuk apapun; otot-ototnya tidak mampu menahan tubuh dan
kepalanya bila ia diposisikan untuk duduk. Dan akhirnya otot pernapasannya
begitu lemah sehingga ia tidak bisa batuk atau bersin sekalipun, membuatnya
mudah terkena radang paru-paru dan sesak. Itulah yang membuatnya dirawat di
Rumah Sakit, dua minggu ini.
Aku merawatnya dengan perasaan bahwa "episode ini lebih merupakan tugas dokter spesialis paru" ... Apa sih yang bisa kulakukan ... Apalagi
kakaknya mengatakan bahwa bapak ini menolak semua obat saraf karena merasa
tidak ada gunanya. Tapi aku merawatnya juga, mencoba memberikan segala yang
terbaik ... sekedar untuk memenuhi kewajibanku.
Namun aku terkesan dengan cara bapak tersebut berkomunikasi. Di
rumahnya, kakaknya memodifikasi mouse komputer dengan menempelkan semacam cincin
di bagian atasnya, sehingga jari si bapak bisa ditempatkan di atas mouse. Ia
hanya perlu berusaha menghasilkan sedikit gerakan tangan untuk menggeser dan menekan ...
meng”klik” mouse tersebut. Untuk meng”klik” sesuatu ... ia harus berjuang
selama kira-kira 2 menit. Di Rumah Sakit, sang kakak membawa sebuah papan berisikan abjad
dengan huruf besar-besar. Dengan sabar kakaknya akan menunjuk abjad tersebut
satu-per-satu, dan sang adik akan mengedipkan mata satu kali bila ia memilih huruf yang ditunjuk, atau dua kali mengedip bila bukan huruf itu yang ia maksudkan.
Kemudian sang kakak menuliskan huruf pilihan adiknya di sebuah kertas di
samping adiknya, agar sang adik dapat melihat huruf demi huruf pilihannya
dirangkai menjadi kata dan kalimat.
Dua hari yang lalu, pasien dan keluarganya sudah diberitahu bahwa
pasien boleh pulang keesokan harinya dan berobat jalan. Karena sesaknya sudah berkurang dan ia telah mendapat vitamin saraf setelah lama tidak mendapatkannya, kekuatan
ototnya sedikit membaik. Hanya sedikit, namun cukup untuk membuatnya bisa
menghasilkan suara yang terdengar sebagai “waaa...iii” dengan gerakan bibir
yang terbaca sebagai “terimakasih”. Dan ketika kugenggam tangannya, aku bisa
merasakan usahanya untuk menggenggam tanganku. Aku membesarkan hatinya dan
mengatakan “terimakasih kembali, pak, tetap semangat ya” .... Kemudian bapak
tersebut mengedip tiga kali kepada kakaknya. Sang kakak mengambil sebuah
kertas bertuliskan sebuah kalimat panjang, lalu menyerahkannya kepadaku ..... Tulisan di kertas itu membuat mataku
berkaca-kaca ....
Bacalah tulisannya yang kulampirkan ini, sebuah pertanyaan tentang dokter yang merawatnya 10 tahun yang lalu. Namun bayangkanlah ... berapa jam yang dibutuhkan oleh kedua kakak beradik ini untuk menuliskan kalimat tersebut ... Sebuah perjuangan cinta yang sejati, penuh pengorbanan, belas kasih dan kesetiaan yang dilakukan oleh sang kakak.
Bacalah tulisannya yang kulampirkan ini, sebuah pertanyaan tentang dokter yang merawatnya 10 tahun yang lalu. Namun bayangkanlah ... berapa jam yang dibutuhkan oleh kedua kakak beradik ini untuk menuliskan kalimat tersebut ... Sebuah perjuangan cinta yang sejati, penuh pengorbanan, belas kasih dan kesetiaan yang dilakukan oleh sang kakak.
Lalu akupun mengerti ... mengapa sang adik dapat menyambut hari
kepulangannya dengan senyum, kata “terimakasih” dan sebuah genggaman tangan
yang hangat ... Sebab, ia memiliki rumah untuk pulang: sang kakak yang mencintainya
dengan tulus, menerimanya apa adanya dan mau memahaminya.
Semoga kitapun selalu menyediakan diri kita untuk menjadi kasih
yang setia seperti itu, menjadi "rumah untuk pulang" bagi keluarga
dan sahabat kita.
"Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain" ....(Yoh 15:17)
Tribute to my patient. God loves you.
DH. 14 Feb 2015
DH. 14 Feb 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar