Saat itu sesi istirahat dalam sebuah acara pendalaman Alkitab di
aula Gereja. Saat jeda tersebut dimanfaatkan oleh peserta untuk ke
toilet, sehingga terbentuklah antrian di depan toilet. Dari kejauhan, seorang
opa tergopoh-gopoh mendekati antrian dan berhenti di sampingku. Melihat
jalannya yang agak tergesa, aku yang berada di urutan paling belakang segera mempersilakan
beliau untuk mengambil posisi di depanku, khawatir kalau-kalau beliau agak kebelet. Namun yang diberi tempat malah
menyalamiku dengan wajah sumringah.
“Bu, seandainya jadi, minggu depan saya akan pergi ke Roma!” katanya dengan
nada riang, sehingga spontan aku ikut tersenyum lalu menyalami opa tersebut dan
berkata “Wah, selamat, opa. Puji Tuhan ya opa”. Spontan hatiku merasakan kegembiraan
yang meluap-luap dan sekaligus terharu ...
Sebenarnya, siapakah aku bagi sang opa sehingga ia membagi
kabar gembiranya denganku? Aku tidak terlalu mengenalnya, dan aku bukan kerabat juga bagi opa tersebut. Kami hanya sesama umat yang sering
bertemu dalam acara-acara di Gereja. Mungkin dalam perjumpaan-perjumpaan
selintas tersebut kami saling menyapa singkat, tersenyum atau sekadar
bersalaman. Memang pernah sekali waktu aku berbincang singkat dengannya. Ketika
itu aku bertugas memandu suatu acara dan karena itu datang satu jam di muka. Di
depan pintu aula yang masih terkunci aku bertemu dengan opa yang berpenampilan
sederhana ini. Beliau datang satu jam di muka karena ingin
mencari posisi tempat duduk yang strategis. Sambil membuka pintu aula, saat
itu kuajak beliau mengobrol ringan sebentar, sedikit basa-basi saja menanyakan
usia dan tempat tinggalnya. Hanya sekali itu kami sedikit berbincang. Maka,
aku kaget dan tersentuh ketika beliau menghampiriku hanya untuk mengabarkan sukacitanya kepadaku.
Benar, di situ aku terharu ketika mengingat bahwa kita biasanya
memberitahukan sebuah kabar gembira kepada orang-orang terdekat: keluarga dan
para sahabat. Maria, misalnya, ketika mendapat kabar gembira dari malaikat
Gabriel, langsung memberitakan kabar tersebut kepada Elisabet, saudaranya.
Padahal, untuk menjumpai Elisabet, ia harus berjalan jauh ke pegunungan menuju
sebuah kota di Yehuda. (Bdk. Luk 1:39). Di
situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet (Luk. 1:40). Mungkin Maria
menyampaikan salamnya dengan hati berbunga-bunga, hangat sekaligus ceria. Sukacitanya
yang meluap-luap tidak dapat disembunyikan ataupun disimpannya sendiri, dan spontan
diungkapkan kepada saudaranya. Bahkan begitu besarnya energi sukacita itu sehingga
menulari Elisabet dan bayi dalam kandungannya (Bdk. Luk 1:41). Bagaimana
tanggapan Elisabet ketika itu? Elisabet begitu terharu karena mendapat kepercayaan
untuk mendengar kabar gembira dari Maria, sehingga ia berkata “siapakah aku ini
sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk 1: 43). Maria memberikan diri,
membagikan isi hatinya kepada Elisabet. Dan pemberian diri itu menimbulkan
kehangatan ...
Memberi adalah tindakan cinta kasih. Tindakan cinta terbaik adalah
pemberian diri seperti yang diteladankan Maria, dan seperti yang dilakukan Yesus
Kristus bagi kita. Maria menunjukkan
bagaimana kita dapat mengasihi dengan berbagi: berbagi pengalaman, pergumulan,
harapan, bahkan kegembiraan. Ya. Kegembiraan dan sukacita yang berasal dari
Allah bila dibagikan kepada sesama akan memiliki makna yang mendalam. Sebab,
dengan berbagi sukacita kita memberi semangat hidup kepada orang lain.
Seperti itulah kita diharapkan menghadirkan diri di lingkungan
kita: hadir seutuhnya dengan segala keberadaan kita dan memberikannya kepada
orang lain. Memang hal ini memerlukan keberanian, sebab mesti dilakukan secara
bebas, tanpa mengharapkan balasan. Artinya, ketika kita tersenyum atau memberi
salam, tidak perlu dipikirkan apakah orang yang disapa akan memberi respons.
Lakukan saja dengan murah hati. Tidak perlu bertanya “aku sudah memberikan ini,
lantas apa yang kau berikan kepadaku sebagai balasannya?” ... Belajar memberi
tanpa mengharapkan balasan -tanpa menimbang-nimbang “untung dan rugi”- akan menjadikan diri kita sebagai orang yang bebas ...
Ketika Maria memutuskan untuk berbagi cerita dengan Elisabet, ia
mengambil risiko bahwa kedatangannya bisa saja disambut dingin, mengingat bahwa
Elisabet sedang mengandung dalam kondisi “tidak normal”. Bisa saja bahwa
Elisabetpun sedang khawatir dengan kehamilannya di usia senja, bukan? Namun, apa
respons Elisabet ketika menyambut Maria? Ia diliputi sukacita dan keharuan
sehingga berseru “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Luk
1:42). Rasanya hilang sudah seluruh kekhawatirannya karena mengandung di usia
yang tidak muda lagi, digantikan dengan kehangatan karena merasa dirinya begitu
istimewa sehingga dipilih untuk mendengar kabar gembira Maria.
Itulah indahnya berbagi sukacita. Sang opa yang mendapat berkat dapat
berangkat ke Roma tidak dapat menahan kegembiraannya dan membagi sukacitanya
denganku. Dan aku dapat merasakan kehangatan mengalir dari matanya yang
berbinar penuh syukur bahwa Tuhan memberinya berkat tersebut, di tengah situasi
hidupnya yang sederhana. Seperti mukzijat saja! Dan opa tersebut memilihku
untuk mendengar kabar sukacitanya, padahal siapalah diriku ini baginya,
hanya sesama umat Gereja yang sering saling berpapasan... Namun, kabar sukacitanya menulari diriku. Rasanya seluruh diriku diteguhkan dan diyakinkan bahwa Sukacita-Nya
akan selalu dilimpahkan kepada kita, apapun yang terjadi ...
Kalimat penuh energi tersebut masih terngiang di telinga “Bu,
seandainya jadi, minggu depan saya akan pergi ke Roma!”. Ketika salamnya sampai kepada telingaku, hatiku melonjak kegirangan, sebab kabar tersebut memberi kesaksian bahwa di dalam Tuhan segalanya dapat menjadi sebuah sukacita.
Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang
dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana. (Luk 1:45)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar