Senin, 04 Januari 2016

Immanuel

Jangan takut, kita tidak pernah berjalan sendirian


Di suatu sore yang mendung dan berhujan menjelang malam Natal, Ade dalam situasi yang sangat galau. Ia mau membawa ayahnya pulang dari Rumah Sakit di selatan kota Bandung. Walaupun sebagian biaya sudah ditanggung oleh BPJS, tapi kekurangan biaya yang harus dibayarnya cukup menguras kantong. Dan sekarang tampaknya dia tidak mempunyai uang bahkan untuk membayar biaya transport pulang. Tapi tidak mungkin juga dia mengatakan hal itu kepada ibunya yang sudah sepuh dan ayahnya yang masih lemas. 
        Dengan modal nekad, sambil berdoa dalam hati,  ia mencegat angkot yang lewat di depan RS itu, dan kebetulan masih cukup untuk memuat 3 orang lagi. “Ya Tuhan, tolonglah kami”, bisiknya. Setelah menyuruh orangtuanya menunggu agak jauh, Ade menghampiri angkot. Kepada sopir angkot, dengan menahan malu Ade berkata pelan “Pak, saya mau bawa bapa saya pulang dari opname. Rumah saya masuk gang kecil di belakang Jamika. Saya kehabisan uang setelah bayar Rumah Sakit. Jadi, nanti kami turun di pinggir jalan, lalu saya antar bapa-ibu saya ke rumah sambil mengambil uang di rumah, baru saya bayar bapak ya. Boleh? Kalau ngga percaya, pegang saja KTP saya.” Rasanya saat itu mukanya sudah berubah-ubah warna antara pucat dan merah padam. Ia merasa mulas. Kakinya seakan tidak kuat menahan tubuhnya yang ingin menciut hilang dan dadanya terasa sesak. Ade siap kalau-kalau dia dimaki dan dihina habis-habisan, tapi ini usaha terakhirnya demi membawa pulang sang ayah. Terjadi keheningan satu atau dua detik yang terasa menyiksa. Sopir angkot yang tangannya penuh tatto dan wajahnya sangar tersebut memandangnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan, lalu tiba-tiba berkata “Ayo naik! Jangan takut. Ngga usah bayar! Saya antar sampai depan gang yang kamu maui”.
Saudara-saudari yang terkasih. Pernahkah kita mengalami situasi galau, cemas, takut, tidak berdaya, tidak tahu apa yang bisa dilakukan, lalu tiba-tiba mendapat pertolongan tak terduga yang membuat kita sadar bahwa kita tidak pernah berjalan sendirian. Kisah Natal, kisah kelahiran Yesus, sebenarnya penuh dengan pesan bahwa manusia tidak pernah dibiarkan berjalan sendirian. Selalu ada penyertaan dan pertolongan Tuhan bagi orang yang berkenan kepada-Nya. Selalu kita dapat percaya dengan “Immanuel, Allah beserta kita”.
Ketika malaikat Gabriel akan memberitakan kabar Maria bahwa ia akan mengandung, ia mengawali kedatangannya dengan mengatakan “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah” (Luk 1:30). Ketika Maria cemas dengan kehamilannya yang terjadi saat ia baru bertunangan dengan Yusuf,  Tuhan membuka hati Yusuf untuk memahami rencana-Nya dan mengambil Maria sebagai istrinya (bdk Mat. 1:20-24). Ketika Herodes berniat untuk membunuh Bayi Yesus, Allah memperingatkan orang-orang majus untuk pulang ke negerinya dengan mencari jalan lain, dan memperingatkan Yusuf untuk membawa Maria bersama Anak Yesus untuk menyingkir ke Mesir. Tidak pernah dibiarkannya mereka sendirian menghadapi situasi yang terjadi.
Maka, kisah Ade yang diceritakan di atas, juga menunjukkan bagaimana ajaibnya pertolongan Tuhan pada waktu-Nya yang tepat, yang diberikan melalui orang-orang di sekitar kita, bahkan yang tampak paling tidak mungkin sekalipun. Sopir angkot bertatto yang wajahnya sangar ternyata menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk menolong Ade di hari itu, sehingga hari itu Ade bisa membawa ayahnya pulang ke rumah dengan sukacita yang besar. Ade benar-benar bersyukur dan turun dari angkot dengan wajah cerah dan langkah yang ringan. Sebab kini ia tahu bahwa ia tidak pernah dibiarkan sendirian dalam perjuangannya. Ada suara-Nya yang berkata “Jangan takut....”, ada tangan yang jelas terulur dan membantunya secara nyata.
Jadi, kalau bagi kita saat ini Natal masih berupa perayaan dengan pohon Natal yang indah, atau pesta gegap gempita dan membagi-bagi bingkisan, mari kita merenungkan kembali makna Natal yang sesungguhnya.  Ketika kita merayakan Natal, sudahkah kita mendengar juga panggilan Tuhan kepada kita masing-masing untuk menjadi pembawa sukacita yang benar kepada sesama, menampakkan Kasih Allah? Mungkin, seperti para gembala di malam kelahiran Yesus Kristus, kita dipanggil untuk menyambut bayi kecil di palungan dalam kandang yang berbau, dan menguatkan Keluarga Kudus dengan hadir secara sederhana di sana. Kita mungkin bukan sekadar diminta untuk menjadi Sinterklas yang membagi bingkisan ke panti asuhan dan lainnya lalu merasa tugas kita selesai. Cukup hadir dengan sederhana bagi saudara-saudari kita  yang membutuhkan dan menyediakan diri untuk berkata "Jangan takut, sebab Allah tidak membiarkan engkau berjalan sendirian. Saya ada di sini, menemani setiap langkahmu... “ Dengan begitu, kita telah turut menghadirkan kembali Immanuel, Allah beserta kita, kini dan sepanjang masa. 




#latepost#
Selamat Natal 2015


Dedeh Supantini