Sabtu, 05 November 2016

Deo Gratias Writing Camp






Siapakah aku ini sehingga .. 
Sebuah berita masuk di gawaiku, pada suatu pagi tanggal 24 Agustus 2016. Dari pak Eka Budianta. Bunyinya “Mohon dipilih waktu yang bagus untuk retret Deo Gratias di Bandung/ Lembang Oktober 2016. Bisa kan?”  Kalau saja kalimat ini diucapkan oleh pak Eka di hadapanku, pasti aku celingukan ke kanan dan ke kiri, bahkan mungkin ke atas dan ke bawah, mencari orang lain di sekitarku. Barangkali bukan aku yang ditanya lhoo. Beliau hanya mengenalku sebatas dari facebook Deo Gratias, demikian juga sebaliknya. Mengapa aku yang diminta? Tapi, karena kalimat selanjutnya meyakinkan bahwa Ayu Utami dan Remy Sylado akan hadir sebagai pembicara di Bandung, aku segera mempertimbangkan tawaran tersebut. Waaaah, keren sekali pembicaranya. Hatiku melonjak kegirangan ... 

Waktunya hanya dua bulan ...

Bulan Oktober hanya beberapa minggu lagi. Agak mustahil mempersiapkan retret dalam waktu sesingkat itu. Apalagi jadwalku sangat padat sampai 30 Oktober. Tidak mungkin menambah pekerjaan baru. Pikiranku menghitung-hitung waktu, sedang hatiku mengatakan: “Ambil!”. Kegalauan ini kubawa dalam doa. Seandainya ini sesuai dengan rencana Tuhan, semoga Ia memberiku petunjuk, sekecil apapun. Dan inilah petunjuk-Nya: ketika keesokan harinya aku menanyakan ketersediaan tempat di Pratista yang biasanya harus dipesan setahun di muka, ternyata tempat tersebut tersedia bagi kita!  “OK, baiklah,” kuterima tugas ini. 


Writing Camp at Pratista ... Is it worth fighting for?
Bayangan Pratista memenuhi benakku sepanjang hari. Dan tengah malam itu, entah kekuatan apa yang merebut tanganku untuk mulai menuliskan kerangka acuan kerja, mengajak beberapa teman untuk membentuk kepanitiaan, dan sebagainya. Pak Eka secara khusus datang ke Bandung untuk memberi pengarahan. Pak Tengsoe dan mbak Agnes menjadi penasehat setia kami dari jauh. Kamipun sepakat untuk mengadakan Writing Camp. Tampaknya semua akan berjalan lancar. Namun ketika semua menunjukku sebagai ketua, aku merasa gentar. Dua bulan persiapan untuk Writing Camp yang formulanya harus dicari sendiri (dan kelak diformulasikan oleh mbak Anjar bersama teman-teman). Sanggupkah aku menerima beban tanggungjawab ini? Hanya berkat dukungan Pastor H.Tedjoworo OSC  yang langsung membimbing dan bersedia menjadi pembicara, aku percaya bahwa jalan ini layak untuk diperjuangkan. Dua petunjuk sudah. Tuhan sudah menyediakan jalan. Kami hanya diminta menyediakan diri untuk bekerja. 


Panitia kita  ...
Hanya lima di antara duabelas orang anggota panitia kita yang saling mengenal: Dedeh, Waty, Rosiany, Eko, Boris. Lainnya baru saling berkenalan saat rapat perdana.  Maria Lupiani hadir membawa semangat GMKA. Bu Susan, pak Boy dan pak Umbu direkomendasikan oleh pak Eka. Mbak Anjar Anastasia, salah satu penulis handal dari Bandung, belum pernah mengenalku  ketika aku merayunya ikut dalam kepanitiaan. Tommy dan Vincent diajak oleh Boris. Di tengah rapat perdana, terus terang aku bingung, membayangkan bagaimana kami yang belum saling mengenal ini harus berjalan bersama mengejar waktu.  Saat itu aku sempat ragu, mencari pegangan sambil berdoa, daaan .............. kutemukan Tuhan tersenyum di antara kami semua. “Jalan!” Kata-Nya. Kamipun berjalanlah.



(Bdk.Mrk 16:7)
Pada saat pak Anton (Sekretariat Nasional Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias) mulai membuat pengumuman dan kami membuat formulir on-line untuk pendaftaran, dalam sekejap kuota peserta terpenuhi. Bahkan, menurut Dwi Klarasari “Deo Gratias Writing Camp 28-29 Oktober 2016 bukan sekadar tujuan namun telah menjadi obsesi kita.”  Apa penyebabnya? Bisa jadi karena tema yang menarik atau pembicara ternama, yang membuat kita membayangkan  “Waah, ini bakalan keren...”. Namun, pernahkah kita membayangkan adanya suatu kekuatan ajaib yang membuat kita masing-masing tergerak begitu kuat, bahkan melonjak kegirangan? Sosok yang hadir tak kasat mata, namun pernah membuat bayi Yohanes pembaptis melonjak kegirangan dalam kandungan ibunya.
Barangkali sebetulnya pada saat itu para penggagas, para narasumber ternama, panitia, cara promosi ataupun formulir online yang keren, hanya pengantar bagi kehadiran sosok tersebut, sahabat sejati yang kita rindukan, Yesus sendiri. Maka, api yang membakar semangat  itu bukan aku, bukan dia, bukan kita, tapi Roh Kudus sendiri, sang Parakletos. Dialah yang menggerakkan hati kita dengan berkata: Pergilah (ke Pratista) .... Ia pergi mendahului kalian. Di sana kalian akan melihat Dia. 

Pratista in love ...

Kita semua mengalami bahwa, pada hari H, sepanjang jalan menuju Pratista penuh dengan atmosfer  persaudaraan. Ada orang-orang yang sejak subuh sudah menjemput teman-teman di stasiun. Pagi itu, kita juga dilimpahi kebaikan Tuhan yang menyediakan kamar transit di Pratista untuk tempat istirahat teman-teman dari luar kota, sementara lokasi acara kita belum bisa diakses. Di Bandung, seorang petugas pusat fotokopi dengan sukarela mengetikkan nama-nama peserta di atas sertifikat, padahal malam sebelumnya petugas yang sama menolak untuk melakukannya. Para “suhu” yang sudah lebih dulu terjun dalam dunia literasi menyediakan diri untuk menjadi sahabat bagi teman-teman pemula, dan hadir begitu nyata di sisi kita sehingga kita terharu karena diperlakukan sebagai saudara. Berbagai kejadian indah terjadi pada hari itu, membuat kita terpesona bahwa hal itu bisa terjadi. Megawati  “merasa menemukan rumah kedua”,  Goentoer menyebutnya “amazing”, aku merasakannya sebagai “mujizat”. Christiana menulis pengalamannya sebagai “Pratista in love”,  Dwi Klarasari “menemukan wajah Allah dalam setiap pribadi yang memesona”.  Setiap kehangatan yang kita serap dalam dinginnya udara Lembang itu, dari mana lagi asalnya kalau bukan dari  Allah Cinta sendiri. 
 
Tuhan bekerja mendahului kita ...
Pasca Writing Camp, aku membuka-buka laman facebook kita, menemukan sukacita meluap-luap dalam setiap posting yang diunggah oleh teman-teman. Api semangat tampak berkobar-kobar (menurut pak Her Suharyanto, jauh melampaui semangat yang bisa dibangun dalam aneka sesi motivasional). Namun semua itu hanya bagian kecil yang kasat mata, dari cerita besar yang masih bisa kita tangkap, sebelum kita terlalu cepat menyimpulkan. Maka aku undur diri sejenak, mengambil jarak dari hari H kita yang penuh cerita. 
Hari ini, ketika segala kelelahan maupun euforia sudah sirna, aku bersimpuh di kaki Yesus yang tergambar tanpa tangan. Lalu tiba-tiba aku tersadar bahwa sesungguhnya, tangan yang tak kelihatan itulah yang telah bekerja, menuntun kita untuk merancang, mengikuti, mendukung Writing Camp ini. Ini semua bukan semata-mata hasil pekerjaan kita, melainkan Dia. Kita semua hanyalah “subjek yang dicoret”, orang- orang yang terberi. 

Siapakah kita ini sehingga ...

Tuhan menghadiahkan semua ini kepada kita...


Pak  Her  dalam refleksinya mengatakan “ketahuilah, ... beberapa peserta menangis terharu ... merasa Tuhan telah datang ...”.  Di luar nalar teknis kita semua, seperti dikatakan pak Her, Tuhan memang benar-benar hadir dalam Writing Camp kita. Ia melukiskan diri-Nya sendiri dalam segala hal, menghadiahkan diri-Nya kepada kita melalui acara ini. Sebuah hadiah, yang membuatku menangis terharu  ketika menyadarinya. Sebab kita tahu, semua ini diberikan Tuhan bukan karena kita berjasa, melainkan hanya karena Dia begitu mencintai kita.

4 November 2016. DH, with love.

------------------------------------------------------------

Dengan penuh syukur dan terimakasih kepada Allah yang maha baik, acara Writing Camp yang diadakan oleh Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG) telah selesai dengan dihadiri 40 peserta dari berbagai kota.
Terimakasih kami ucapkan kepada:

1. Para pendiri KPKDG (Tengsoe Tjahjono, Eka Budianta, Agnes Bemoe), serta sekretariat nasional KPKDG Antonius Agus Marhendro. 
 10. Para pendukung doa:  Ibu Tiennawati Winokusurja dan teman-teman pendoa Rosario dari     Jelajah Alkitab Paroki Santa Perawan Maria Sapta Kedukaan. Juga Romo Allo dan teman-teman EASG. 

Tidak ada komentar: