Minggu, 19 Maret 2017

Di Pinggir Sumur


(Yoh 4:5-42)

Seperti apakah sebuah sumur dalam bayangan kita? Seandainya aku mengambil contoh sumur-sumur yang kukenal di masa kecil, maka letaknya di dalam rumah dan menjadi sumber air bagi seluruh penghuni rumah tersebut. Seseorang hanya mengambil air dari sumur tetangga jika sumurnya sendiri kering. Dengan model sumur seperti ini, sulit untuk membayangkan bahwa sebuah sumur bisa menjadi tempat perjumpaan antara seorang perempuan Samaria dengan Yesus sebagai laki-laki asing. Rupanya harus menggunakan model sumur lain untuk memahami perikop ini. Barangkali bisa menggunakan model sumur umum yang kujumpai di masa kuliah ketika mengikuti bakti sosial di desa-desa. Di desa-desa itu aku mengalami serunya mandi dan mencuci di sumur umum. Ternyata sumur umum adalah ruang terbuka yang memiliki fungsi sosial sebagai tempat bertemunya masyarakat secara alamiah. Sumur-sumur umum yang pernah kuhadiri biasanya paling ramai di pagi hari. Di sini orang bisa membangun keakraban dengan tegur sapa, jabat tangan, mengobrol, bercanda dan melihat wajah asli masing-masing yang tanpa polesan sebab semuanya sama-sama baru bangun tidur di pagi hari.

Jika sumur Yakub adalah ruang terbuka seperti itu, maka perjumpaan perempuan Samaria dengan Yesus di pinggir sumur Yakub adalah peristiwa alamiah yang bisa terjadi di setiap sumur. Walaupun kita percaya tidak ada yang kebetulan dalam rancangan Allah, namun perjumpaan perempuan itu dengan Yesus terjadi tanpa didahului janji bertemu sebelumnya, tanpa disiapkan dan direncanakan secara manusia. Hanya saja (tidak) kebetulan terjadi di siang hari, ketika hampir tidak ada orang beraktivitas di sumur itu. Maka, di pinggir sumur tersebut hanya ada perempuan itu berdua dengan Yesus. Tidak ada orang lain. Perempuan Samaria datang ke sumur membawa keinginan duniawi untuk memperoleh air, entah karena dia tidak berani datang ke sumur pada pagi hari (konon, perempuan ini adalah orang yang merasa ditolak masyarakat setempat), entah karena sejak pagi sampai siang dia bolak-balik mengambil air supaya mempunyai cadangan air berlimpah di rumahnya. Dan Yesus menyapanya dengan teguran halus untuk berbagi “Berilah Aku minum.”

Kadang-kadang, kita seperti perempuan dalam Injil tersebut, merasa kurang puas dengan apa yang sudah kita miliki atau kita capai, dan seolah-olah memerlukan lebih banyak lagi materi atau apapun untuk dimiliki. Dan mungkin sebetulnya kita melakukannya untuk menutupi sesuatu yang kurang dalam diri kita, untuk memenuhi suatu ruang kosong yang entah bagaimana caranya dapat dipenuhi. Lalu ketika seseorang meminta dari milik kita (entah waktu, bantuan tenaga atau pemikiran) kita menghitung untung-rugi: berikan atau jangan ya? Termasuk ketika Tuhan meminta kita untuk berkarya melayani Dia, kita mencari pembenaran untuk menghindar: “Sebentar, Tuhan, pekerjaanku dan urusan rumah tanggaku sudah sangat menyita waktu dan aku tidak bisa cukup beristirahat. Bagaimana lagi aku bisa punya waktu untuk melayani?” (Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam - Yoh.4:11). Kita mencari alasan untuk menolak: “lagipula aku tidak pantas.” (Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria? - Yoh 4:9) Padahal, dengarkanlah apa yang dikatakan-Nya: "Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup. “ Yesus, sebagai orang yang berkekurangan, mau menerima pemberian diri kita, dan sekaligus di sini Ia menyatakan diri sebagai seorang yang berkelimpahan dan mau memuaskan kehausan kita dengan air hidup.

Dialog selanjutnya menunjukkan bahwa perempuan itu membuka diri untuk dikenali oleh Yesus. Tak ada rahasia yang disembunyikannya, sebab sesungguhnya Tuhan sudah lebih dulu mengetahui segala hal dalam hidupnya. Dialog ini membuat si perempuan sadar bahwa ia mungkin mencari-cari kepenuhan hidupnya dengan melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukannya. Dan, orang yang berbicara dengannya ini, yang mengetahui bahkan segala hal terkecil yang tersimpan di hatinya, mungkin adalah orang yang dapat memenuhi kehausan jiwanya. Maka ia bertanya tentang Mesias yang “akan memberikan segala sesuatu” dan Yesus menegaskan “Akulah Dia”. Dalam sekejap, perempuan ini lega. Laki-laki ini mengetahui sisi gelapnya namun tetap menghargainya justru karena ia mengakui kekurangannya dengan benar (Yoh 4:18 “dalam hal ini engkau berkata benar”). Ia langsung percaya bahwa Dialah Mesias. Kenyataan bahwa Mesias -Tuhan sendiri- menyapanya dengan hangat membuat seluruh hidupnya terasa penuh. Pada saat itulah perempuan Samaria itu berhenti mencari, bahkan meninggalkan tempayannya di pinggir sumur.

Perjumpaan dengan Yesus di pinggir sumur Yakub adalah sebuah perjumpaan yang mengubah: mengubah pencarian keinginan duniawi menjadi suatu penemuan kedalaman hidup. Di masa Prapaskah ini, kita masing-masing juga diundang untuk pergi ke ruang terbuka tempat kita bisa berjumpa secara pribadi dengan Yesus, bercakap-cakap dengan-Nya, membuka seluruh hidup kita kepada-Nya, dan merasa lega. Marilah kita pergi ke pinggir sumur Yakub yang terdekat saat ini: ruang adorasi Ekaristi, ruang-ruang tempat sakramen pengampunan diberikan, ruang doa-doa pribadi kita. Semoga kita menemukan saat-saat ketika kita mengatakan “Tuhan, aku berdosa” dan Dia memeluk kita sambil berkata “Ya, Aku tahu. Tinggalkanlah tempayanmu di sini, berilah Aku minum, dan Aku sudah memberikan kepadamu air hidup.” Tuhan kita maha rahim, ia hanya meminta kita meninggalkan tempayan kita –manusia lama kita yang diwarnai dosa- dan menjalani hidup baru yang lebih sederhana: hidup dekat dengan-Nya, Sang Air Hidup.


Kemuliaan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus, seperti pada permulaan, sekarang, selalu, dan sepanjang segala masa. Amin.

Dedeh Supantini. 19 Maret 2017.

Sabtu, 18 Maret 2017

Asa untuk Sang Kupu-Kupu, Sahabat Odapus



Judul buku     : Asa untuk Sang Kupu-kupu
Penulis           : dr. Laniyati Hamijoyo & Sandra V. Navarra, M.D
Penerbit Qanita PT Mizan Pustaka.
Cetakan 1. Februari 2017.

Buku kecil dengan gambar sampul seekor kupu-kupu ini memberikan edukasi tentang penyakit Lupus dengan cara yang menarik, semenarik kupu-kupu yang memang melambangkan lupus. Walaupun tujuan penulisan buku ini adalah edukasi, namun para penulisnya –Lanny dan Sandra- memilih untuk melakukannya dengan gaya berkisah yang ringan, dengan memaparkan perjalanan seorang odapus (orang dengan lupus) bernama Anisa.
Dikisahkan Anisa yang baru didiagnosis sebagai penderita lupus mencoba untuk memahami penyakitnya dengan berbagai macam cara. Menghadiri pertemuan bulanan Komunitas Lupus, berkonsultasi kepada dokter ahli reumatologi, berdiskusi dengan sesama odapus. Melalui catatan Anisa dalam usahanya untuk memahami lupus, penulis masuk dengan materi edukasi tentang penyakit lupus. Penjelasan tentang gejala-gejala penyakit lupus, bagaimana mendiagnosisnya dan bagaimana pengobatannya dijelaskan dengan tuntas melalui jawaban-jawaban atas pertanyaan Anisa. Bahkan kriteria untuk diagnosis lupus dari American College of Rheumatology (ACR) dan SLICC, sekaligus uji-uji laboratoriumnya dijelaskan di buku ini! Sangat lengkap, mengingat kedua penulisnya adalah ahli di bidangnya: dr. Lani adalah internist yang lulus fellowship traning Reumatologi di Filipina, Sandra V.Navarra adalah Profesor Reumatologi dari Filipina.
Selain membahas tentang penyakit lupus, buku ini juga memberi tempat pada aspek psikologis odapus. Pertanyaan yang diajukan oleh hampir semua penderita (apapun jenis penderitaannya), yaitu “Mengapa harus aku?”, dibahas secara ringan melalui diskusi Anisa dengan dokter reumatologi yang menanganinya. Enam tahap pengalaman psikologis yang dialami oleh penderita apapun, dijelaskan melalui obrolan Anisa dengan ibu Puri, seorang odapus yang dijumpai Anisa di rumah sakit. Melalui pertemuannya dengan kedua tokoh ini, Anisa (sekaligus juga para pembaca buku ini) mendapat lebih banyak pengetahuan tentang lupus sehingga diharapkan lebih dapat mengatasi permasalahan yang bisa timbul dalam hidup bersama lupus. Dengan kesiapan mental, akhirnya Anisa bahkan dapat mendiskusikan pilihan terapinya dengan orangtua dan dokternya.
Sekalipun data-data ilmiah tentang penyakit lupus disajikan dalam buku ini, namun gaya berkisah melalui tokoh Anisa dan dokternya membuat topik berat ini menjadi terasa ringan.  Buku ini juga sangat empatik memandang odapus dan hadir sebagai sahabat yang menguatkan odapus. Ini tampak dari dua bab terakhir buku ini yang bertajuk “Berpikir positif” dan “Masa Depan Cerah”. Secara brilian penulis menutup tulisan tentang penyakit lupus dengan tulisan motivasi yang memberi kekuatan ekstra bagi pembacanya, melalui refleksi Anisa dan catatannya. Berpikir positif, itulah kata kunci yang menjadi sumber kekuatan kita semua untuk menghadapi masa depan yang lebih cerah. Maka penulis menutup buku ini dengan jurnal Anisa yang memandang penyakitnya dengan cara baru dan optimis: “Setelah didiagnosis lupus dan melalui semua perjalanan dengan lupus ini, aku sekarang lebih menghargai hidupku. Aku percaya bahwa hidup adalah sebuah perjalanan dan aku mensyukuri apapun yang kumiliki. Selalu ada asa untuk kita, para kupu-kupu". 
Buku ini layak dibaca oleh siapapun: oleh odapus dan pendampingnya, oleh para calon dokter dan dokter, bahkan juga oleh  mereka yang belum pernah berhubungan dengan penyakit lupus maupun penyakit menahun lainnya. Salam kasih bagi para odapus dan bagi kita semua.
 Bandung, 18 Maret 2017.
 Dedeh Supantini