Sabtu, 15 April 2017

Empat Puluh Hari Lagi

#Refleksi setelah empat puluh hari masa Prapaskah.

1. Rabu Abu

Pada hari Rabu Abu, kita memulai masa Prapaskah. Di hari ini kita semua memenuhi Gereja dan mengantri untuk mendapat tanda salib abu di kening. Mengapa abu?

Pertama, setelah Adam dan Hawa berdosa, Tuhan mengingatkan bahwa manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Maka, pada hari ini, kita mengingat bahwa kita adalah debu yang dengan mudah menghilang ditiup angin, jika Allah tidak menghembuskan nafas hidup dan menjadikan kita serupa dengan-Nya. Dan jiwa kita akan menjadi hancuran debu bila kita memisahkan diri dari-Nya, sumber hidup kita.

Kedua, berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Maka dengan abu kita menandai pertobatan kita. Imam menandai kita dengan tanda salib abu sambil berkata: Bertobatlah dan percayalah kepada Injil. Artinya, kita diajak untuk undur diri dari kecenderungan memenuhi hasrat duniawi dan pulang ke rumah sejati kita: kepada Injil, kepada Allah sendiri.

2. Masa Prapaskah, masa rekonsiliasi

Masa Prapaskah adalah masa puasa. Kita mungkin memulainya dengan membahas tatacara puasa: Kapan berpuasa? Mulai jam berapa sampai jam berapa? Kita berpantang apa? Namun Allah berbicara mengenai Prapaskah sebagai masa rekonsiliasi. Berilah dirimu didamaikan dengan Allah (2 Kor 5:20b).

Berdamai dengan Allah bukan semata-mata mencari pengampunan dari pelbagai dosa. Berdamai dengan Allah berarti: menyadari kerapuhan kita sebagai manusia dan kembali berpegang hanya kepada-Nya.

Tanpa berpegang kepada-Nya, betapa mudahnya kita jatuh dalam dosa, sekalipun kita hidup dekat dengan-Nya (bahkan Yesus dicobai setelah Ia berpuasa, ketika Ia dekat dengan Bapa). Memang iblis selalu masuk melalui hal-hal yang kelihatannya baik dan bisa kita lakukan sebagai anak-anak Allah. Seperti Yesus, kita dicobai melalui keinginan jasmani untuk memiliki sesuatu lebih dari yang dibutuhkan. Kita dibujuk untuk mengubah batu menjadi roti (Mat.4:3), padahal mungkin kita sudah mempunyai cukup roti. Ketika merasa dekat dengan Allah, kita dicobai untuk membuktikan bahwa Allah akan selalu menyelamatkan kita: Jatuhkanlah dirimu ... Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya ... supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu (Mat 4:6b). Godaan ini terselubung di balik keinginan kita untuk disebut beriman: "Biarkanlah dirimu masuk ke dalam godaan, Allah akan menyelamatkanmu, bukankah Ia mengasihimu". Kita dipengaruhi untuk menikmati seluruh dunia: memiliki sebanyak mungkin kekuasaan, sebanyak mungkin materi, bahkan sebanyak mungkin pengikut yang mengagumi kita dan menggengamnya erat-erat. Padahal, dengan begitu kita sudah berpaling dari Allah: Bukankah Iblis mengatakan: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku (Mat 4:9b).

Lihat! Betapa mudahnya kita jatuh ke dalam cobaan itu, bila kita membiarkan diri terbawa kerapuhan manusiawi kita. Dengan pembenaran yang biasa kita sebutkan kita manusia lemah,  sebenarnya kita telah menghalangi karya ilahi dan jatuh dalam dosa. Sebagai manusia, Yesus berhasil mengatasinya, karena Ia mengingat suara Bapa ketika Ia dibaptis sebelum masuk ke padang gurun untuk dicobai. Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan. Bapa mengingatkan identitas-Nya, dan Yesus berpegang kepada Bapa dalam perjuangan-Nya untuk tetap setia sebagai anak yang dikasihi. Allah Bapa mengatakan hal yang sama saat pembaptisan kita "engkaulah anak-Ku yang Ku kasihi." Maka marilah mohon pertolongan-Nya dan berjuang untuk menjadi anak-Nya yang setia. Bersama Allah, kita kuat.

Inilah rekonsiliasi dengan Allah: menyadari kerapuhan kita, sekaligus menyediakan diri untuk menerima pertolongan-Nya, terus menerus dibentuk oleh-Nya, tidak membiarkan diri terbawa kerapuhan manusiawi kita.

3. Kita dipanggil masuk dalam Pekan Suci

Dalam Pekan Suci ini, apakah kita mengambil posisi sebagai "orang luar", sebagai penonton yang terkesima? Kita ikut melambaikan daun Palma dari kejauhan dan bersorak Hosana. Kita mendengar kisah perjamuan terakhir dan merinding membayangkan perjuangan Yesus di Getsemani. Kita mengikuti jalan salib-Nya sampai di Golgota, kagum dengan kesediaan-Nya mati bagi kita, lalu merinding terharu.

Sesungguhnya,  kita dipanggil untuk "masuk" ke dalam Pekan Suci ini dan mengikuti jejak Yesus: menyangkal diri, melepaskan kemelekatan kita kepada hal-hal dunia, memikul salib kita masing-masing, mati bagi dosa kita, dan dibangkitkan pada hari Paskah. Tetapi "masuk" ke dalam Pekan Suci tidak mudah. Terlebih jika kita renungkan peran kita di jalan salib-Nya selama ini. Mungkin kita menemukan diri kita adalah Yudas, adalah Pilatus, adalah Petrus yang menyangkal-Nya, adalah yang berteriak Salibkanlah Dia ... ketika setiap hari kita menolak untuk  memaafkan orang-orang yang pernah menyakiti kita, ketika menolak sejarah hidup kita, ketika menukarkan iman dengan kedudukan, ketika tidak setia. 

Namun, dengarlah, di Golgota Tuhan menyebut nama kita masing-masing ketika mengucapkan ini: Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Ya, kitalah yang dimaksudkan oleh Yesus ketika Dia mengucapkan ini sebelum mati bagi kita.

4. Setelah Paskah: empat puluh hari lagi

Akhirnya kita sampai pada Paskah, kebangkitan Tuhan. Betapa leganya mendengar bahwa Tuhan bangkit dan membangkitkan kita bersama-Nya. Kita diberi hidup baru walaupun telah berdosa kepada-Nya. Kita dimerdekakan dari segala kegelapan yang menguasai kita kemarin.

Kita sudah berusaha menjalani empat puluh hari bersama-Nya, menjadi Veronika dan Simon dari Kirene di jalan salib keluarga dan sesama kita: menyediakan telinga untuk mendengar, kaki yang menghampiri, tangan yang menolong, hati yang memahami mereka semua. Kita sudah berusaha mengikuti Yesus, menyangkal diri, mengampuni setiap yang bersalah kepada kita. Empat puluh hari ini kita lebih bersyukur lagi, menyadari  bahwa kita begitu dicintai sehingga Tuhan mati bagi kita. Dan, rasanya setelah masa prapaskah empat puluh hari ini, kita memerlukan empat puluh hari lagi dan lagi. Jika semua ini membawa kita lebih dekat dengan-Nya dan memperoleh hidup. Aleluya.

Dedeh Supantini
with love. 
15042017

Tidak ada komentar: