Senin, 15 Desember 2014

Indonesian Idol vs Sang Idol Sejati


Pada suatu hari, Rumah Sakit tempatku bekerja mengadakan perayaan Natal dengan acara puncak menampilkan salah seorang selebriti Indonesian Idol. Sejak disosialisasikan melalui poster-poster dan undangan, seisi Rumah Sakit sudah mencatat tanggal dan jam tayang live show tersebut. Beberapa orang tentu saja sudah mencari tukaran shift jam dinas, agar bisa hadir dalam momen istimewa tersebut. Aku sendiri tidak perlu menukar shift, sebab jadwal tugasku di klinik Saraf selesai pada jam 12.00 sehingga pasti bisa hadir di acara tersebut.
Pada hari yang ditunggu-tunggu tersebut, ternyata pasien kami membludak di luar prakiraan dan pelayanan baru selesai pada jam 14.00, tepat pada waktu tampilnya selebriti Indonesian Idol di Aula. Tetapi ketika aku akan keluar dari klinik,  tiba-tiba dua pasien didorong bersamaan dengan kursi roda, dan berhenti di depan pintu ruangan. Perawat poliklinik masuk tergopoh-gopoh ke tempatku dengan wajah cemas “Dok, saya sudah bilang bahwa kita sudah tutup, tapi petugas registrasi menerima pasien lagi ...” Aku tahu, beliau bukan cemas karena takut ketinggalan acara, tetapi pasti takut kalau-kalau dokternya keberatan ... sebab saat ini sudah lewat jam buka klinik. Cepat-cepat aku menenangkan hatinya “Ya sudah, kalau pasien sudah ada di sini, kita layani dulu saja ya bu.”
Ternyata kedua pasien tersebut adalah pasien “nyasar”. Mereka bukanlah pasien penyakit saraf. Yang pertama pasien yang terjatuh 6 hari sebelumnya (!) dan tampaknya mengalami keretakan di tulang pangkal paha, sehingga segera kami masukkan ke ruang rawat inap untuk diserahkan kepada dokter bedah tulang. Yang kedua benar-benar ajaib: seorang kakek tua yang diantarkan oleh tukang becak karena sang kakek ditemukan sedang bingung di depan Rumah Sakit, dan ketika ditanya hendak ke mana, kakek yang bajunya berantakan tersebut mengatakan “Ngga tau, nak, kakek pusing...” Maka sang tukang becak membawa kakek tersebut ke dalam Rumah Sakit, lalu mendaftarkannya ke klinik saraf karena ... menurut petugas pendaftaran, pasien dengan keluhan pusing harus dibawa ke klinik saraf.
Nah, menghadapi kakek yang pusing tersebut, kami malah pusing. Sebab, beliau bukan merasa “sakit kepala” ataupun “merasa seperti berputar”, melainkan “kakek pusing tidak tahu mau ke mana”.  Waduh! Sungguh ini bukan pekerjaan dokter maupun perawat  ... Bagaimana kami bisa menguraikan kepusingan kakek ini?  Namun apa boleh buat, kami harus menghadapinya. 
     Setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti dan tanya jawab, akhirnya dapat disimpulkan bahwa kakek tersebut sudah pikun dan paranoid, lalu keluyuran dari rumah hingga tersesat dan tidak tahu akan melanjutkan perjalanannya ke mana. Maka kami menanyakan alamat rumahnya dan nomor telpon anaknya, barangkali beliau ingat? “Tentu saja ingat, tapi saya tidak bisa memberikannya sembarangan,” kata kakek tersebut dengan nada marah. Astaga, kek, kami akan mencoba menolong, supaya kami bisa menelpon keluarga kakek dan kakek bisa dijemput. “Tidak, saya tidak mau pulang!” katanya cepat-cepat sambil memeluk tas seukuran tool-box tempat penyimpanan peralatan pertukangan. Bukan main kakek ini ... padahal jam sudah menunjukkan pk.14.00, waktu yang sangat tidak ideal untuk menyelesaikan permasalahan seorang kakek pikun yang sedang ngambek dan tersesat ... Apalagi kalau mengingat bahwa klinik lain sudah tutup, dan selebriti Indonesian Idol pasti sudah mulai tampil di Aula. Tapi ya sudah, bagaimana lagi ... beliau terlanjur ada di hadapan kami. 
    Setelah lama berbincang, ketahuanlah bahwa ternyata kakek ini lupa alamat rumahnya. Dengan berbagai cara akhirnya kami berhasil membujuk kakek itu untuk mengeluarkan KTP-nya, agar kami bisa menghubungi keluarganya. Ketika beliau membuka tas model tool box-nya untuk mengambil KTP, kami terpana ........ Tukang becak yang masih menunggui kakek tersebut pun melongo .... Tas tersebut penuh dengan uang tunai limapuluh ribuan yang tersusun rapi ....
Benar-benar tidak terduga! Siapa sangka bahwa dibalik penampilan berantakan dan kepikunan yang tampak menjengkelkan ... ternyata kakek tadi membawa harta yang luar biasa...... 
Sesaat, perawat klinik dan aku saling berpandangan lalu melirik jam. Kami mungkin agak  kecewa karena ketinggalan acara Natal yang pasti meriah, tapi tiba-tiba kami tawa kami meledak ... rasanya lucu aja lagi.... Bayangkan, ... kami batal menyaksikan puncak acara perayaan Natal, demi seorang kakek pikun yang nyasar ke klinik saraf. Namun diam-diam kami tersadar bahwa melalui peristiwa “ajaib” itu, Tuhan mungkin menegur kami karena lebih menyiapkan diri untuk bertemu selebriti Indonesian Idol daripada menyiapkan diri menanti kedatangan Tuhan, sang Idol sejati. Padahal kedatangan Tuhan tidak bisa diduga waktunya... 
    Yah, kami memang ketinggalan acara dan tidak bisa menyaksikan penampilan selebriti Indonesian Idol, tapi kami merasa bahwa ... mungkin Tuhan saat itu sedang mengunjungi kami melalui si kakek pikun.
Seperti kejadian tidak terduga hari itu, jalan hidup kita pun sering tidak terduga, sebab rencana Tuhan memang sering di luar perkiraan manusia. Sekitar 2000 tahun yang lalu, misalnya, siapa yang bisa menduga Tuhan datang sebagai bayi lemah yang terpaksa lahir di kandang hewan di Betlehem, dan bukan di istana raja? Hanya orang-orang percaya yang bisa mengenali-Nya dengan kacamata iman mereka, bukan? Tuhan mempunyai cara dan waktu yang tak terduga. Oleh karena itu kita harus selalu siap untuk mengenali tanda kehadiran-Nya. Kalau Tuhan, Sang Idol Sejati, datang mengunjungi kita, tentunya kita ingin kedapatan menyambut dan melayani-Nya dengan baik ...
Di ujung meja ruang praktek, sebuah buletin intern kebetulan terbuka pada halaman bergambar bayi Yesus dalam palungan di kandang yang kotor dan berantakan. Tulisan di bawahnya berbunyi “Di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal" (Yoh 1:26). Apakah saya dapat mengenali Yesus Kristus dalam hidup saya, bila Dia datang secara incognito dalam diri orang-orang kecil dan menderita?
Kami menutup pintu klinik dan bersalaman dengan sukacita. "Bersukacitalah! Sebab Tuhan sudah dekat" (Flp 4:4.5).

 Gaudette Sunday 2014.

Minggu, 30 November 2014

Berbagi


    Sahabat saya pernah menceritakan tentang pasiennya, seorang pemuda yang harus dirujuk ke Rumah Sakit gara-gara pelit. Nah, lho ... bagaimana bisa begitu? Begini kejadiannya. Pada suatu hari, seorang pemuda pulang dari bekerja dengan membawa sebuah durian. Durian itu dibeli di kebunnya langsung, dan waktu dicicipi rasanya benar-benar top markotop, sayang sekali uangnya hanya cukup untuk membeli satu buah saja. Sang pemuda membayangkan, buah durian itu pasti enak kalau dinikmati bersama-sama keluarga di rumah, namun demikian dia mulai berhitung: kalau disantap bersama keluarga, dia mungkin hanya akan kebagian satu atau dua biji saja. Wah ... padahal durian ini dibeli dengan hasil jerih payahnya dan ... enak sekali. Maka ia memutuskan untuk diam-diam menikmatinya sendiri. Dan terjadilah: pemuda itu makan durian di kamarnya, sambil duduk bersandar di tempat tidurnya. Karena posisi duduk yang terlalu santai saat makan tersebut, tiba-tiba durian yang sedang dinikmatinya itu tergelincir bersama bijinya, masuk ke dalam kerongkongan dan tersangkut di sana (masih untung tidak langsung menyumbat jalan nafas dan menyebabkan kematian), Wah, tidak bisa diceritakan bagaimana paniknya sang pemuda dan keluarganya. Dokter di sebelah rumahnya –sahabat saya- berusaha mengatasi hal tersebut tapi tidak berhasil, dan pemuda pelit itu terpaksa dikirim ke Rumah Sakit!

    Kita juga kadang-kadang bersikap pelit seperti itu. Kita menyimpan makanan terbaik untuk kita sendiri, kita menyimpan bagian-bagian terbaik dari suatu apapun ... untuk dinikmati sendiri. Kita takut, bila makanan atau hal apapun tersebut  dibagikan lantas kita menjadi kekurangan atau jangan-jangan pemberian kita ditolak! Maka, ketika melihat sekelompok anak pemungut sampah atau anak jalanan yang sedang mengais-ngais tempat sampah di depan sebuah Mall, kita tidak tergerak untuk memberikan roti yang padahal kita beli dalam jumlah cukup banyak di Bakery sebelahnya. Kita menganggap bahwa mereka tidak memerlukan pemberian kita dan berpikir bahwa mereka bisa memperoleh makanan sendiri, atau (berharap) ada orang lain yang akan berbagi dengan mereka.

     Hal itu terjadi juga dengan murid-murid Yesus, ketika Yesus naik ke atas gunung dekat danau Tiberias dan banyak orang berbondong-bondong datang kepada-Nya sampai hari menjelang petang. Saat Yesus bertanya kepada murid-murid-Nya  “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” Filipus langsung menjawab “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja.” (bdk. Yoh 6:1-7) Padahal, mungkin saat itu ia mempunyai roti juga, namun ia mengelak “Ah, milikku, mah, cuma ini, mana cukup untuk dibagikan? Orang lain punya yang lebih baik dan lebih banyak, kok, Tuhan.”  


      Repons Filipus ini bukankah merupakan respons spontan kita juga ketika suara hati kita memanggil kita untuk berbagi sesuatu, namun pikiran kita menimbang-nimbang untung-ruginya, kemudian mengelak dari tanggungjawab kita. Atau mungkin bukan menghindar dari tanggungjawab, namun kita berpikir “Tuhan bisa melakukannya sendiri, Ia tidak memerlukan aku untuk itu”. Sebab bukankah “hal itu dikatakan-Nya untuk mencobai dia, sebab Ia sendiri tahu, apa yang hendak dilakukan-Nya” (Yoh. 6:6). Memang benar Tuhan tahu apa yang hendak dilakukan-Nya, yaitu memanggil kita untuk terlibat dalam membagikan berkat yang telah Ia berikan untuk dibagikan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan  itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Ef 4:1-2). Tuhan memerlukan kita untuk memulai tindakan saling mengasihi dan saling membantu, agar orang lain tergerak untuk melakukannya juga. Akhirnya tergantung kita, apakah kita mau menjawab panggilan itu atau tidak.

     Kini coba kita lihat anak kecil dalam Yoh 6:9 yang langsung tergerak untuk menyerahkan lima roti jelai dan dua ikan yang dimilikinya kepada Tuhan. Anak kecil biasanya lebih egois dan suka menyimpan miliknya sendiri. Bukankah kita sering melihat seorang anak tidak mau berbagi dengan temannya dan mengatakan “ini punyaku, bukan untuk dibagikan!”, sehingga temannya berkomentar “ih, pelit !” Tetapi anak kecil dalam Injil ini berbeda, ia begitu bebas, begitu tulus memberi. Sewaktu saya mencoba untuk membayangkan motivasi apa yang mendorong anak ini untuk menyerahkan makanannya kepada Tuhan, jawaban yang saya temukan adalah: “Supaya dekat dengan Tuhan.”

    “Supaya dekat dengan Tuhan”! Sederhana sekali. Ketika kita dipanggil untuk berbagi dengan “pesan” bahwa hal tersebut adalah tugas dan tanggungjawab kita, kita merasa berat dan mencari alasan untuk menghindar. Tetapi anak kecil tadi memberi alasan yang sangat menggerakkan kita. Coba bayangkan bahwa di tempat tadi Yesus dikelilingi oleh lima ribu orang, sehingga tidak semua orang bisa mendekat. Maka ketika mendengar Tuhan memerlukan roti untuk memberi mereka makan, anak kecil tadi langsung menawarkan rotinya kepada Tuhan, agar ia mendapat jalan untuk menerobos kerumunan orang banyak, dan mendekat kepada Tuhan!  Bahwa makanan yang dimilikinya cuma secuil dan tampak tidak berarti (mana bisa memberi makan orang sebanyak itu?) tidak perlu dipikirkan. Yang penting ia bisa dekat dengan Tuhan. Dan ternyata Tuhan tidak menolak, Ia bahkan mengucap syukur atas hal tersebut (Yoh 6:11).

    Maka, ketika kita diminta untuk membagikan sesuatu dari diri kita, ingatlah bahwa panggilan berbagi itu adalah sebuah jalan bagi kita untuk dekat dengan Tuhan. Dan, bukankah kita rindu untuk dekat dengan-Nya ...
     
   DH. November 2014 @ Rumah retret Pratista.

Sabtu, 06 September 2014

Mendengarkan untuk memahami



Pernahkah anda mempunyai seorang sahabat yang bisa “membaca pikiran” anda, dan sebaliknya andapun cukup memandang wajahnya lalu ...... “cling!” ... dalam sekejap anda tahu apa yang ia harapkan?  Dalam keluarga, pasti kita pernah mengalami hal seperti itu. Barangkali pada suatu hari ada di antara para ibu yang membeli kue kesukaan suaminya, dan saat pulang bekerja, ternyata suaminya membawa kue yang sama! Sepintas seolah-olah bisa saling berkomunikasi dengan "telepati". Hal seperti ini memang dimungkinkan dalam suatu hubungan yang dekat dan akrab, yang bertumbuh dengan saling mendengarkan.

“Mendengarkan” sangat penting untuk bertumbuh dalam persahabatan. Dengan “mendengarkan”, baru kita bisa “memahami”, dan selanjutnya masuk ke tahap “mengetahui apa yang ia harapkan untuk aku lakukan”. Ini bisa menjadi bahan permenungan dalam hal hubungan kita dengan Tuhan. Saat ini, sejauh manakah relasi kita dengan Tuhan? Apakah bagi kita Tuhan adalah: Bapa tempat memohon, tempat “curhat”, berlindung dan mencari pertolongan? Apakah kita sudah menjalin persahabatan dengan-Nya pada kualitas “cukup dengan memandangnya, aku pun tahu apa yang ia kehendaki untuk aku pahami”?

Kalau kita ingin mengalami persahabatan yang indah dengan Tuhan, maka tentu kita juga harus belajar untuk “mendengarkan” Dia,  yaitu melalui doa atau membaca sabda-Nya yang tertulis dalam Kitab Suci.

Mungkin kita menganggap bahwa membaca dan memahami Kitab Suci pasti sulit. Harus mengerti sejarah penulisannya, mempelajari tafsir-nya dengan benar. Ah, pokoknya susah! Untuk itu harus ikut pendalaman atau kursus Kitab Suci secara khusus. Memang itu benar. Tapi, tahukah anda, mengapa Kitab Suci menjadi buku bestseller selama berabad-abad? Karena ternyata Kitab Suci tidak hanya menyapa orang-orang pintar dan ahli filsafat, namun juga orang-orang sederhana. Kitab Suci menyapa setiap orang sesuai dengan situasi yang dihadapinya saat itu, dan menjadi sarana dialog dengan Allah yang hidup.

Kita bisa mendengarkan Sabda Tuhan secara sederhana: berdoa mohon bantuan Tuhan, lalu membuka Kitab Suci, baca perikop yang menarik pandangan kita di halaman itu, kemudian bawa ke dalam renungan, coba “dengarkan”: apa yang mau Tuhan katakan kepada kita dengan Sabda-Nya ini?

Ada sebuah kesaksian. Sekitar tahun 1998-1999 di masa krisis moneter melanda dunia, ada satu perusahaan keluarga yang terancam bangkrut karena tidak bisa membayar kepada para supplier-nya. Ayah dari keluarga ini memutuskan untuk pindah ke kota lain, agar tidak dikejar-kejar oleh penagih hutang. Namun, anak-anaknya menolak, sebab tidak sesuai ciri keluarga mereka yang menjunjung tinggi kejujuran, dan akan mematikan langkah anak-anak juga. Maka keluarga inipun berdoa bersama dan mencari jawaban melalui Kitab Suci, seperti kebiasaan mereka selama ini.  Tapi sekali itu mereka sangat kaget! Sebab, ayat yang dibaca menyatakan “Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan” (Mat 18:23-26). Semalaman keluarga membawa hal itu dalam permenungan. Akhirnya, dengan mata berkaca-kaca sang ayah mengatakan bahwa ia memahami hal itu sebagai panggilan Tuhan untuk menyelesaikan hutang secara benar, walaupun untuk itu mereka harus menjual harta benda mereka.

Memang akhirnya barang berharga dijual bahkan asuransi jiwapun dicairkan untuk membayar hutang. Tapi ajaib, ada tiga supplier yang membebaskan hutang sampai sebesar sembilan puluh juta rupiah, lalu membantu keluarga itu untuk membangun kembali usahanya dari nol! Dan ...... ketika mereka sekeluarga kembali membaca perikop tersebut, mereka begitu kagum karena baru sadar bahwa lanjutan ayat tadi berbunyi: “Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya” (Mat 18: 26-27).  Sebuah Sabda yang menjadi petunjuk jalan yang membawa keselamatan bagi keluarga tadi!

Kesaksian tadi menunjukkan bahwa Sabda Tuhan yang disampaikan kepada para nabi, dan dibaca oleh para kudus, masih relevan bagi kita hari ini. Kitab Suci adalah petunjuk jalan, jawaban atas doa-doa kita. Ketika keluarga kita menghadapi masalah yang berat, Tuhan menawarkan sebuah kuk yang nyaman dan bersabda “Marilah kepada Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat 11:28) Ketika kita merasa tidak sanggup untuk melanjutkan hidup kita, Ia mengulurkan tangan dan berkata “Talita, kum" yang berarti: "Hai anak, Aku berkata kepadamu, bangunlah! "(Mrk 5:41).

Begitu indahnya Sabda Tuhan yang ingin disampaikan kepada kita! Maka, mulai sekarang, mari kita selalu berdoa: memutar nomor telpon Tuhan, mengirim sms kepada-Nya, menceritakan kerinduan kita kepada-Nya. Lalu kita "dengarkan" jawaban yang sudah tertulis dalam Kitab-nya yang Suci, seperti kita membaca status path atau facebook atau bahasa tubuh sahabat kita. Mari kita berusaha memahami-Nya seperti kita telah memahami sahabat kita. Dengan begitu, semoga kita menjadi peka untuk “menangkap” apa yang Tuhan kehendaki untuk kita lakukan hari ini. Siapa tahu, hari ini Tuhan hanya ingin mengatakan “engkaulah anak-Ku yang Kukasihi”. (Mrk 1:11) .

 

Senin, 04 Agustus 2014

Lebih dari pemenang



Seorang gadis menangis tersedu-sedu. Ia baru saja diputuskan oleh kekasihnya. Orangtua kekasihnya melarang anaknya menjalin relasi dengan si gadis, hanya karena gadis ini berasal dari keluarga broken home. Tiba-tiba sang gadis ingat kembali saat-saat sedih di masa SD, ketika ayahnya pergi meninggalkan keluarga mereka dan tidak pernah kembali. Ia ingat bahwa sejak itu ia selalu belajar mati-matian sehingga selalu menjadi juara kelas, agar tidak terkalahkan oleh  teman-teman yang mengejeknya sebagai “anak yang tidak punya ayah”. Ia bahkan berhasil menjadi pemenang olimpiade Sains tingkat nasional. Ia juga ingat bagaimana ketika ia mati-matian mencoba memenangkan hati seorang pria dan berhasil. Tapi, kini tak ada kebanggaan yang tersisa ketika dirinya tidak bisa bertahan sebagai pemenang dalam mengambil hati kekasihnya. Kegagalan ini dalam sekejap membuat semua gelar juara dan pemenang menjadi hampa, ia merasa terpuruk dan tidak berharga. Siapa dirinya ini? Ternyata tidak lebih dari seorang gadis malang yang pantas ditinggalkan.

Dalam kedukaan, sang gadis bersujud, berdoa dan menceritakan segala kesedihannya kepada Tuhan sambil menangis. Rasanya ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk melanjutkan kehidupannya yang kini terasa hampa. Ia berserah kepada Tuhan dan memohon: “Tuhan, .............. ini aku..............tolonglah aku”. Ia mencoba mendengarkan jawaban Tuhan baginya. Apa yang dikatakan Tuhan sebagai jawaban atas doanya? Sebuah kalimat sederhana – yang telah diucapkan setiap hari kepada kita semua- “engkau adalah anak-Ku yang Ku kasihi, Aku mengasihimu”.

Seketika itu juga sang gadis merasa lebih tenang dan lega, sebab boleh saja segala peristiwa pahit menimpa dirinya, namun tidak ada yang dapat memisahkan dirinya dari kasih Allah. Boleh saja bahwa ia kehilangan gelar "pemenang", bahkan bisa saja bahwa ia bukan juara atau pemenang apapun ......namun Tuhan memberinya identitas yang lebih dari pemenang, yaitu sebagai anak yang dikasihi-Nya.






Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus?
Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan,
atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? 
Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang,
oleh Dia yang telah mengasihi kita. 
Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup,
baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah,
baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang,
atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah,
ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
 
(Roma 8:35,37-39).