Rabu, 24 Juni 2015

Tuhan Yesus Mencintaiku



Hari minggu tanggal 7 Juni 2015 tampak istimewa. Hari itu adalah Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. Sejak jam 8 pagi Aula Pandu sudah diramaikan oleh anak-anak yang berbaju putih-putih dan wajah ceria. Mereka pada hari itu akan menerima Komuni Pertama setelah mengikuti pembekalan selama 3 bulan. Orang tua mereka juga tidak kalah bahagianya. Sejak malam minggu beberapa orangtua bekerja keras menyusun kursi, meja, menghias aula dengan rangkaian balon cantik berwarna biru muda. Kompak sekali, sebab merekapun telah sering bertemu yaitu pada 5 (lima) pertemuan pembekalan orangtua oleh para pastor di Paroki Pandu.
Pukul 09.15, dengan bimbingan guru-guru pendamping yang setia, anak-anak berbaris rapi memasuki Gereja dan mengikuti misa dengan khusyuk. Liturgi Sabda hari itu terasa spesial karena Bacaan Kitab Suci maupun Mazmur dibawakan oleh anak-anak yang membawakannya dengan baik.
“Tuhan Yesus Mencintaiku”, begitulah tema Komuni Pertama di Paroki Pandu tahun ini. Memang Tuhan Yesus begitu mencintai kita semua, sehingga menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya bagi kita. Dan di setiap perayaan Ekaristi Yesus selalu hadir, dan kehadiran-Nya disimbolkan dengan lilin yang menyala di kanan-kiri Altar dan di Tabernakel, demikian menurut Pastor Didi OSC dalam homilinya. Pastor Didi berpesan kepada anak-anak, bahwa  dengan menyantap Tubuh dan Darah Kristus, maka Yesus hadir juga di dalam diri kita, sehingga kita juga harus menjadi terang bagi orang-orang di sekitar kita dengan cara berbuat baik dan benar. Semoga saja pesan pastor ini dilaksanakan oleh anak-anak setelah menerima komuni yang pada hari itu diberikan dalam dua rupa yaitu Hosti dan Anggur. Wah, bahagia sekali. Kebahagiaan ini dicerminkan dalam salah satu lagu  yang dibawakan oleh koor Campanella Voce, yaitu lagu “Karena aku Kau cinta”.
Selesai misa, anak-anak bergegas ke Aula untuk mengikuti perayaan syukur. Setelah mendengarkan sambutan Pejabat Pastor Paroki yaitu Pastor Didi OSC, wakil Guru dan wakil orangtua; pak Stephanus yang menjadi MC mengadakan kuiz berhadiah. Hadiahnya cukup banyak, dan pertanyaannya mudah, antara lain: siapa Pastor Paroki kita, siapa nama lengkap Pastor Didi OSC yang hari itu memimpin misa, apa nama Paroki kita, dan lain-lain. Lucunya, ketika ditanya hari ini hari raya apa, sebagian besar anak menjawab “Hari Raya Komuni Pertama”. Ahaha .... iyalah, nak ....  bagi kalian ini hari raya yang istimewa ya, tapi namanya adalah “Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus”. 
Acara dilanjutkan dengan kreativitas kelompok. Ada yang bernyanyi, ada yang menampilkan tablo perjamuan makan terakhir. Setelah itu, acara ditutup dengan pembagian “goodie bag” yang berisi Alkitab, patung kecil, buku saku doa, snack, dan masih banyak lagi. Waaah, luar biasa ya acara hari itu. Terimakasih kepada para Pastor  yang  telah memberi pembekalan pada orangtua  dan anak-anak, terimakasih kepada guru-guru pendamping, panitia orangtua, donatur, petugas liturgi dan semua pihak yang telah mendukung komuni pertama ini. Anak-anak, Tuhan Yesus mencintaimu, sambut Dia dengan rajin mengikuti misa dan terima komuni ya. Selamat!

Jumat, 05 Juni 2015

Kabar gembira, saya akan pergi ke Roma!



Saat itu sesi istirahat dalam sebuah acara pendalaman Alkitab di aula Gereja. Saat jeda tersebut dimanfaatkan oleh peserta untuk ke toilet, sehingga terbentuklah antrian di depan toilet. Dari kejauhan, seorang opa tergopoh-gopoh mendekati antrian dan berhenti di sampingku. Melihat jalannya yang agak tergesa, aku yang berada di urutan paling belakang segera mempersilakan beliau untuk mengambil posisi di depanku, khawatir kalau-kalau beliau agak kebelet. Namun yang diberi tempat malah menyalamiku dengan wajah sumringah. “Bu, seandainya jadi, minggu depan saya akan pergi ke Roma!” katanya dengan nada riang, sehingga spontan aku ikut tersenyum lalu menyalami opa tersebut dan berkata “Wah, selamat, opa. Puji Tuhan ya opa”. Spontan hatiku merasakan kegembiraan yang meluap-luap dan sekaligus terharu ...

  Sebenarnya, siapakah aku bagi sang opa sehingga ia membagi kabar gembiranya denganku? Aku tidak terlalu mengenalnya, dan aku bukan kerabat juga bagi opa tersebut. Kami hanya sesama umat yang sering bertemu dalam acara-acara di Gereja. Mungkin dalam perjumpaan-perjumpaan selintas tersebut kami saling menyapa singkat, tersenyum atau sekadar bersalaman. Memang pernah sekali waktu aku berbincang singkat dengannya. Ketika itu aku bertugas memandu suatu acara dan karena itu datang satu jam di muka. Di depan pintu aula yang masih terkunci aku bertemu dengan opa yang berpenampilan sederhana ini. Beliau datang satu jam di muka karena ingin mencari posisi tempat duduk yang strategis. Sambil membuka pintu aula, saat itu kuajak beliau mengobrol ringan sebentar, sedikit basa-basi saja menanyakan usia dan tempat tinggalnya. Hanya sekali itu kami sedikit berbincang. Maka, aku kaget dan tersentuh ketika beliau menghampiriku hanya untuk mengabarkan sukacitanya kepadaku.  

Benar, di situ aku terharu ketika mengingat bahwa kita biasanya memberitahukan sebuah kabar gembira kepada orang-orang terdekat: keluarga dan para sahabat. Maria, misalnya, ketika mendapat kabar gembira dari malaikat Gabriel, langsung memberitakan kabar tersebut kepada Elisabet, saudaranya. Padahal, untuk menjumpai Elisabet, ia harus berjalan jauh ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. (Bdk. Luk 1:39).  Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet (Luk. 1:40). Mungkin Maria menyampaikan salamnya dengan hati berbunga-bunga, hangat sekaligus ceria. Sukacitanya yang meluap-luap tidak dapat disembunyikan ataupun disimpannya sendiri, dan spontan diungkapkan kepada saudaranya. Bahkan begitu besarnya energi sukacita itu sehingga menulari Elisabet dan bayi dalam kandungannya (Bdk. Luk 1:41). Bagaimana tanggapan Elisabet ketika itu?  Elisabet  begitu terharu karena mendapat kepercayaan untuk mendengar kabar gembira dari Maria, sehingga ia berkata “siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk 1: 43). Maria memberikan diri, membagikan isi hatinya kepada Elisabet. Dan pemberian diri itu menimbulkan kehangatan ...

Memberi adalah tindakan cinta kasih. Tindakan cinta terbaik adalah pemberian diri seperti yang diteladankan Maria, dan seperti yang dilakukan Yesus Kristus bagi kita. Maria menunjukkan bagaimana kita dapat mengasihi dengan berbagi: berbagi pengalaman, pergumulan, harapan, bahkan kegembiraan. Ya. Kegembiraan dan sukacita yang berasal dari Allah bila dibagikan kepada sesama akan memiliki makna yang mendalam. Sebab, dengan berbagi sukacita kita memberi semangat hidup kepada orang lain.

Seperti itulah kita diharapkan menghadirkan diri di lingkungan kita: hadir seutuhnya dengan segala keberadaan kita dan memberikannya kepada orang lain. Memang hal ini memerlukan keberanian, sebab mesti dilakukan secara bebas, tanpa mengharapkan balasan. Artinya, ketika kita tersenyum atau memberi salam, tidak perlu dipikirkan apakah orang yang disapa akan memberi respons. Lakukan saja dengan murah hati. Tidak perlu bertanya “aku sudah memberikan ini, lantas apa yang kau berikan kepadaku sebagai balasannya?” ... Belajar memberi tanpa mengharapkan balasan -tanpa menimbang-nimbang “untung dan rugi”- akan menjadikan diri kita sebagai orang yang bebas ...

Ketika Maria memutuskan untuk berbagi cerita dengan Elisabet, ia mengambil risiko bahwa kedatangannya bisa saja disambut dingin, mengingat bahwa Elisabet sedang mengandung dalam kondisi “tidak normal”. Bisa saja bahwa Elisabetpun sedang khawatir dengan kehamilannya di usia senja, bukan? Namun, apa respons Elisabet ketika menyambut Maria? Ia diliputi sukacita dan keharuan sehingga berseru “Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Luk 1:42). Rasanya hilang sudah seluruh kekhawatirannya karena mengandung di usia yang tidak muda lagi, digantikan dengan kehangatan karena merasa dirinya begitu istimewa sehingga dipilih untuk mendengar kabar gembira Maria.

Itulah indahnya berbagi sukacita. Sang opa yang mendapat berkat dapat berangkat ke Roma tidak dapat menahan kegembiraannya dan membagi sukacitanya denganku. Dan aku dapat merasakan kehangatan mengalir dari matanya yang berbinar penuh syukur bahwa Tuhan memberinya berkat tersebut, di tengah situasi hidupnya yang sederhana. Seperti mukzijat saja! Dan opa tersebut memilihku untuk mendengar kabar sukacitanya, padahal siapalah diriku ini baginya, hanya sesama umat Gereja yang sering saling berpapasan... Namun, kabar sukacitanya menulari diriku. Rasanya seluruh diriku diteguhkan dan diyakinkan bahwa Sukacita-Nya akan selalu dilimpahkan kepada kita, apapun yang terjadi ...

Kalimat penuh energi tersebut masih terngiang di telinga “Bu, seandainya jadi, minggu depan saya akan pergi ke Roma!”. Ketika salamnya sampai kepada telingaku, hatiku melonjak kegirangan, sebab kabar tersebut memberi kesaksian bahwa di dalam Tuhan segalanya dapat menjadi sebuah sukacita.


Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana. (Luk 1:45)