Pada lebaran tahun 2011, kami
sekeluarga berlibur di sebuah resort di Gunung Salak, 152 km dari Bandung. Kami
melihat fotonya melalui internet: sebuah
penginapan dengan latar belakang perbukitan yang indah. Tapi yang paling
menarik adalah tujuh air terjun indah di sekitarnya, yang bisa dikunjungi dengan bantuan “guide” setempat. Tempat
itu dipromosikan sebagai “a place like no place on earth”.
Pada hari “H”, tepat hari lebaran pertama, kami berangkat jam 6
pagi supaya jalanan sepi. Kalau lancar, kami bisa sampai dalam 4 jam. Tapi
ternyata jalanan macet sehingga pada pk.15.00 kami masih jauh dari tempat
tujuan. Saat itu, bayangan air terjun yang indah mulai pudar, diganti rasa
kecewa atas perjalanan yang melelahkan. Ketika akhirnya kami sampai di halaman
resort, matahari hampir terbenam. Tetapi ....... ternyata kami langsung dihadiahi pemandangan
dengan “sunset” yang sangat indah, sesuai dengan yang
dipromosikan. Saat itu, rasanya segala kelelahan terbayar sudah, digantikan dengan
kekaguman. Saking kagumnya, anak-anak diam di sana terus, sampai papinya
mengingatkan “Halo, kalian mau diam terus? Ayo kita makan malam dan istirahat
dulu. Besok subuh kan kita mau ke air
terjun”.
Walaupun mungkin kurang sempurna,
hal ini bisa memberi sedikit gambaran tentang apa yang terjadi saat Yesus
dimuliakan di atas gunung.
Sebelum peristiwa
itu, para murid sedang sedih dan kecewa, sebab Yesus baru saja menyampaikan
bahwa Ia akan menderita -bahkan dibunuh- sebelum bangkit kembali (Mrk.8:31).
Mereka tidak bisa menerima hal itu. Nah, hari
itu Yesus membawa Petrus, Yakobus dan
Yohanes untuk naik ke sebuah gunung, yaitu Gunung Tabor, untuk berdoa.
Ketika sedang berdoa,
para murid menyaksikan bahwa “wajah-Nya berubah, pakaian-Nya menjadi putih
berkilau-kilauan. Dan tampaklah Musa dan Elia menampakkan diri dalam
kemuliaan”. (bdk. Mrk 9:30-31). Saat melihat sendiri kemuliaan Yesus, hilanglah
segala kekalutan mereka. Apalagi kemudian terdengar suara dari dalam awan: "Inilah Anak-Ku yang KuKasihi, dengarkanlah Dia." (bdk Mrk 9:34 – 35)
Di atas gunung ini, para murid
seolah-olah diberi penghiburan ketika melihat kemuliaan Yesus dan mendengar
peneguhan bahwa “Yesus adalah Putra Bapa”. Hal itu membuat mereka begitu
bahagia, sehingga ingin menikmati momen itu lebih lama lagi. Maka Petrus
menawarkan diri untuk mendirikan 3 kemah: untuk Yesus, Musa dan Elia (bdk
Mrk.9:5). Pengalaman spiritual ini begitu mengesankan bagi Petrus, sehingga
dalam suratnya kelak, Petrus mengatakan: “... Kami
menyaksikan, bagaimana Ia menerima kehormatan dan kemuliaan dari Allah Bapa,
ketika Bapa mengatakan: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku
berkenan.” Suara itu kami dengar datang dari surga, ketika kami
bersama-sama dengan Dia di atas gunung yang kudus.” (bdk 2Pet 1:16-18)
Dalam hidup ini saya juga pernah kecewa dan
kehilangan semangat ketika menghadapi
situasi yang tidak diharapkan, yaitu ketika almarhumah mami mertua sakit parah.
Saat itu situasi rasanya kacau: mami sakit berat dan sepulang dari RS masih
perlu perawatan di rumah, sedangkan pembantu keluar semua. Dalam situasi
tersebut, suami mensponsori saya ikut KEP. Perjumpaan dengan Tuhan selama
KEP, retret dan pencurahan Roh Kudus,
membuat saya merasa terhibur dan dikuatkan. Mungkin saat itu saya seperti para murid
di Gunung Tabor yang begitu bahagia dengan pengalamannya.
Namun, lihat, ketika para murid ingin menikmati kebahagiaan itu lebih lama,
semua penampakan itu hilang dan Yesus mengajak mereka turun
gunung. Di sini Allah
mau mengatakan bahwa momen itu hanya sebuah perhentian yang Ia berikan agar
mereka beroleh kekuatan untuk menjalani penderitaan bersama Yesus. Pengalaman
ini bukan “puncak kemuliaan” yang sesungguhnya.
Momen itu hanya merujuk pada sesuatu yang lebih besar, yaitu Kebangkitan Yesus setelah
wafat di Salib. Jadi,
peristiwa di Gunung Tabor memberi kekuatan untuk mengikuti jalan Salib-Nya ke
Golgota.
Demikianlah, keindahan di halaman
resort membuat kami keesokan harinya mau menempuh perjalanan berat menuju air terjun yang kami
yakini lebih indah. Pengalaman akan Tuhan dalam retret KEP memberi saya
kekuatan untuk menjalani saat-saat sakitnya mami. Peristiwa Gunung Tabor
memberi kekuatan bagi para murid untuk menghadapi peristiwa Golgota.
Maka, di saat kita menghadapi kesulitan hidup, kita
hendaknya mendekatkan diri kepada Tuhan dengan menenangkan hati, merenungkan peristiwa tersebut sambil berdoa memohon agar Tuhan mendampingi kita. Semoga kita dapat bertemu dengan-Nya dalam peristiwa-peristiwa hidup. Sebab, perjumpaan dengan Tuhan akan memberi kita kekuatan untuk melanjutkan perjalanan
hidup selanjutnya.
5 Juli 2014. Dedeh @ workshop KEP "MBA".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar